Selasa, 31 Mei 2011

Peran UKM dalam perekonomian Inndonesia

Peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia pada dasarnya sudah besar sejak dulu. Namun demikian sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, peranan UKM meningkat dengan tajam. Data dari Biro Pusat Statistik1 (BPS). menunjukkan bahwa persentase jumlah UKM dibandingkan total perusahaan pada tahun 2001 adalah sebesar 99,9%. Pada tahun yang sama, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh sektor ini mencapai 99,4% dari total tenaga kerja. Demikian juga sumbangannya pada Produk Domestik Bruto (PDB) juga besar, lebih dari separuh ekonomi kita didukung
oleh produksi dari UKM (59,3%). Data-data tersebut menunjukkan bahwa peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan output.

Meskipun peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral, namun kebijakan pemerintah maupun pengaturan yang mendukungnya sampai sekarang dirasa belum maksimal. Hal ini dapat dilihat bahkan dari hal yang paling mendasar seperti definisi yang berbeda untuk antar instansi pemerintahan. Demikian juga kebijakan yang diambil yang cenderung berlebihan namun tidak efektif, hinga kebijakan menjadi kurang komprehensif, kurang terarah, serta bersifat tambal-sulam. Padahal UKM masih memiliki banyak permasalahan yang perlu mendapatkan penanganan dari otoritas untuk mengatasi keterbatasan akses ke kredit bank/sumber permodalan lain dan akses pasar. Selain itu kelemahan dalam organisasi, manajemen, maupun penguasaan teknologi juga perlu dibenahi. Masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh UKM membuat kemampuan UKM berkiprah dalam perekonomian nasional tidak dapat maksimal. Salah satu permasalahan yang dianggap mendasar adalah adanya kecendrungan
dari pemerintah dalam menjalankan program untuk pengembangan UKM seringkali merupakan tindakan koreksi terhadap kebijakan lain yang berdampak merugikan usaha kecil (seperti halnya yang pernah terjadi di Jepang di mana kebijakan UKM diarahkan untuk mengkoreksi kesenjangan antara usaha besar dan UKM), sehingga sifatnya adalah tambal-sulam. Padahal seperti kita ketahui bahwa diberlakunya kebijakan yang bersifat
tambal-sulam membuat tidak adanya kesinambungan dan konsistensi dari peraturan dan pelaksanaannya, sehingga tujuan pengembangan UKM pun kurang tercapai secara maksimal. Oleh karena itu perlu bagi Indonesia untuk membenahi penanganan UKM dengan serius, agar supaya dapat memanfaatkan potensinya secara maksimal. Salah satu pembenahan utama yang diperlukan adalah dari aspek regulasinya.

Potret UKM
UKM kurang mendapatkan perhatian di Indonesia sebelum krisis pecah pada tahun 1997. Namun demikian sejak krisis ekonomi melanda Indonesia (yang telah meruntuhkan banyak usaha besar) sebagian besar UKM tetap bertahan, dan bahkan jumlahnya meningkat dengan pesat perhatian pada UKM menjadi lebih besar, kuatnya daya tahan UKM juga didukung oleh struktur permodalannya yang lebih banyak tergantung pada dana sendiri (73%), 4% bank swasta, 11% bank pemerintah, dan 3% supplier (Azis, 2001). Demikian juga kemampuannya menyerap tenaga kerja juga semakin meningkat dari sekitar 12 juta pada tahun 1980, tahun 1990, dan 1993 angka ini meningkat menjadi sekitar 45 juta dan 71 juta (data BPS), dan pada tahun 2001 menjadi 74,5 juta. Jumlah UKM yang ada meningkat dengan pesat, dari sekitar 7 ribu pada tahun 1980 menjadi sekitar 40 juta pada tahun 2001. Sementara itu total volume usaha, usaha kecil dengan modal di bawah Rp. 1 miliar yang merupakan 99,85% dari total unit usaha, mampu menyerap 88,59% dari total tenaga kerja pada tahun yang sama. Demikian juga usaha skala menengah (0,14% dari total usaha) dengan nilai modal antara Rp. 1 miliar sampai Rp. 50 miliar hanya mampu menyerap 10,83% tenaga kerja. Sedangkan usaha skala besar (0,01%) dengan modal di atas Rp. 54 miliar hanya mampu menyerap 0,56% tenaga kerja. Melihat sumbangannya pada perekonomian yang semakin penting, UKM seharusnya mendapat perhatian yang semakin besar dari para pengambil kebijakan. khususnya lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab atas perkembangan UKM. Pengembangan UKM diIndonesia selama ini dilakukan oleh Kantor Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kementerian Negera KUKM). Selain Kementrian Negara KUKM, instansi yang lain seperti Depperindag, Depkeu, dan BI juga melaksanakan fungsi pengembangan UKM sesuai dengan wewenang masing-masing. Di mana Depperindag melaksanakan fungsi pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan menyusun Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah tahun 2002-2004. Demikian juga Departemen Keuangan melalui SK Menteri Keuangan (Menkeu) No. 316/KMK.016/1994 mewajibkan BUMN untuk menyisihkan 1-5% Iaba
perusahaan bagi pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK). Bank Indonesia sebagai otoritas keuangan dahulu mengeluarkan peraturan mengenai kredit bank untuk UKM, meskipun akhir-akhir ini tidak ada kebijakan khusus terhadap Perbankan mengenai pemberian kredit ke usaha kecil lagi. Demikian juga kantor ataupun instansi lainnya yang terlibat dalam “bisnis” UKM juga banyak. Meski banyak yang terlibat dalam pengembangan UKM namun tugas
pengembangam UKM yang dilimpahkan kepada instansi-instansi tersebut diwarnai banyak isu negatif misalnya politisasi terhadap KUKM, terutama koperasi serta pemberian dana subsidi JPS yang tidak jelas dan tidak terarah. Demikian juga kewajiban BUMN untuk menyisihkan labanya 1 – 5% juga tidak dikelola dan dilaksanakan dengan baik.

Kebanyakan BUMN memilih persentase terkecil, yaitu 1 %, sementara banyak UKM yang mengaku kesulitan mengakses dana tersebut. Selain itu kredit perbankan juga sulit untuk diakses oleh UKM, di antaranya karena prosedur yang rumit serta banyaknya UKM yang belum bankable. Apalagi BI tidak lagi membantu usaha kecil dalam bidang permodalan secara lansung dengan diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Selain permasalahan yang sudah disebutkan sebelumnya, secara umum UKM
sendiri menghadapi dua permasalahan utama, yaitu masalah finansial dan masalah nonfinansial (organisasi manajemen). Masalah yang termasuk dalam masalah finansial di antaranya adalah (Urata, 2000):
• kurangnya kesesuain (terjadinya mismatch) antara dana yang tersedia yang dapat
diakses oleh UKM
• tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UKM
• Biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup
rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan
kecil
• kurangnya akses ke sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan
bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai
• bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi
• banyak UKM yang belum bankable, baik disebabkan belum adanya manajemen
keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan manajerial dan
finansial
Sedangkan termasuk dalam masalah organisasi manajemen (non-finansial) di antaranya
adalah :
• kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang
disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan teknologi
serta kurangnya pendidikan dan pelatihan
• kurangnya pengetahuan atcan pemasaran, yang disebabkan oleb terbatasnya
informasi yang dapat dijangkau oleh UKM mengenai pasar, selain karena
ketetbatasan kemampuan UKM untuk roonyediakanproduk/ jasa yang sesuai
dengan keinginan pasar
• keterbatasan sumber daya manusia (SDM) secara kurangnya sumber daya untuk
mengembangkan SDM2
• kurangnya pemahaman mengenai keuangan dan akuntansi
Di samping dua permasalahan utama di atas, UKM juga menghadapi
permasalahan linkage dengan perusahaan serta ekspor. Permasalahan yang terkait
dengan linkage antar perusahaan di antaranya sebagai berikut :
• Industri pendukung yang lemah.
• UKM yang memanfaatkan/menggunakan sistem duster dalam bisnis belum
banyak.

Sedangkan permasalahan yang terkait dengan ekspor di antaranya sebagai
berikut:
• kurangnya informasi mengenai pasar ekspor yang dapat dimanfaatkan.
• Kurangnya lembaga yang dapat membantu mengembangkan ekspor.
• Sulitnya mendapatkan sumber dana untuk ekspor.
• Pengurusan dokumen yang diperlukan untuk ekspor yang birokratis.
Beberapa hal yang ditengarai menjadi faktor penyebab permasalahanpermasalahan di atas adalah: pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan UKM, termasuk masalah perpajakan yang belum memadai; masih terjadinya mismatch antara fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dan kebutuhan UKM; serta kurangnya linkage antar UKM sendiri atau antara UKM dengan industri yang lebih besar (Urata, 2000). Hal ini tentunya membutuhkan penanganan yang serius serta terkait erat dengan kebijakan pemerintah yang dibuat untuk mengembangkan UKM.


Sumber: http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Regulasi%20dalam%20revitalisasi%20-%20sri%20adiningsih.pdf

Sabtu, 14 Mei 2011

inflasi di INDONESIA dan LAOS

seperti kita tahu bahwa inflasi di indonesia dan laos adalah tingkat inflasinya tertinggi diASIA laos menduduki peringkat pertama dan indonesia berada dibawahnya berikut penjelasan tentang inflasi yang terjadi di inonesia dan laos :

INFLASI DI INDONESIA :
SUMBER-SUMBER PENYEBAB DAN
PENGENDALIANNYA
Adwin S. Atmadja
Dosen Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi - Universitas Kristen Petra
ABSTRAK
Krisis moneter yang melanda negara-negara ASEAN, termasuk
Indonesia, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi perekonomian
nasional. Krisis moneter menyebabkan terjadinya imported inflation
sebagai akibat dari terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing, yang selanjutnya mengakibatkan tekanan
inflasi yang berat bagi Indonesia.
Fenomena inflasi di Indonesia sebenarnya semata-mata bukan
merupakan suatu fenomena jangka pendek saja dan yang terjadi secara
situasional, tetapi seperti halnya yang umum terjadi pada negara-negara
yang sedang berkembang lainnya, masalah inflasi di Indonesia lebih
pada masalah inflasi jangka panjang karena masih terdapatnya
hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian negara. Dengan
demikian, maka pembenahan masalah inflasi di Indonesia tidak cukup
dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen moneter saja,
yang umumnya bersifat jangka pendek, tetapi juga dengan melakukan
pembenahan di sektor riil, yaitu dengan target utama mengeliminasi
hambatan-hambatan struktural yang ada dalam perekonomian nasional.
Kata kunci : inflasi, structural bottleneck.
ABSTRACT
The monetary crisis that happens among the ASEAN countries
including Indonesia has cause the broken of the national economical
aspects. The monetary crisis causes the imported inflation, which is the
result of the sharp depreciation of rupiah exchange rate toward the
foreign exchange rate. This condition can cause the heavy inflation
pressure for Indonesia.
The inflation phenomenon in Indonesia actually is not the short-term
phenomena. That is only happens incidentally. In fact, the same general
problem also happens in others developing countries. The inflation
problem in Indonesia is the kind of long-term inflation that caused by the
structural of economic obstacles that still occur in Indonesia. As the
result, the reconstruction of inflation problem in Indonesia is not enoughInflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya
(Adwin S. Atmadja)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
55
to be accomplished only with monetary instruments, which usually tend
to be in short-term. Therefore, the reconstruction in the real sector with
the main target to eliminate the nation structural economic obstacles also
needed in order to improve the national economy of Indonesia.
Keywods : inflation, structural bottleneck.
1. LATAR BELAKANG
Krisis moneter yang melanda negara-negara anggota ASEAN, telah memporak-
porandakan struktur perekonomian negara-negara tersebut. Bahkan bagi Indonesia,
akibat dari terjadinya krisis moneter yang kemudian berlanjut pada krisis ekonomi
dan politik ini, telah menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan terhadap sendi-
sendi perekonomian nasional.
Krisis moneter yang melanda Indonesia diawali dengan terdepresiasinya secara
tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (terutama dolar Amerika), akibat
adanya domino effect dari terdepresiasinya mata uang Thailand (bath), salah
satunya telah mengakibatkan terjadinya lonjakan harga barang-barang yang
diimpor Indonesia dari luar negeri. Lonjakan harga barang-barang impor ini,
menyebabkan harga hampir semua barang yang dijual di dalam negeri meningkat
baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terutama pada barang yang
memiliki kandungan barang impor yang tinggi.
Karena gagal mengatasi krisis moneter dalam jangka waktu yang pendek,
bahkan cenderung berlarut-larut, menyebabkan kenaikan tingkat harga terjadi
secara umum dan semakin berlarut-larut. Akibatnya, angka inflasi nasional
melonjak cukup tajam.
Lonjakan yang cukup tajam terhadap angka inflasi nasional yang tanpa
diimbangi oleh peningkatan pendapatan nominal masyarakat, telah menyebabkan
pendapatan riil rakyat semakin merosot. Juga, pendapatan per kapita penduduk
merosot relatif sangat cepat, yang mengakibatkan Indonesia kembali masuk dalam
golongan negara miskin. Hal ini telah menyebabkan semakin beratnya beban hidup
masyarakat, khususnya pada masyarakat strata ekonomi bawah.
Jika melihat begitu dasyatnya pengaruh lonjakan angka inflasi di Indonesia
(akibat dari imported inflation yang dipicu oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing) terhadap perekonomian nasional, maka dirasa perlu
untuk memberikan perhatian ekstra terhadap masalah inflasi ini dengan cara
mencermati kembali teori-teori yang membahas tentang inflasi; faktor-faktor yang
menjadi sumber penyebab timbulnya inflasi di Indonesia; serta langkah-langkah
apakah yang sebaiknya diambil untuk dapat keluar dari perangkap inflasi ini.
2. TINJAUAN TEORITIS TENTANG INFLASI
2.1 Teori Kuantitas
Teori ini adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam
perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomiJurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 1, No. 1, Mei 1999 : 54-67

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
56
Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris
(monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan
harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya
inflasi.
Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :
1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang
kartal maupun giral.
2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan
oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa
mendatang.
2.2 Keynesian Model
Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena
masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga
menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan
agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat),
akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang
(penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi
tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh
karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih
banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek.
Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak sama
(heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi barang-barang yang tersedia
dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif rendah kepada
golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akan
terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah
satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya
beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga
permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang
(inflationary gap menghilang).
2.3 Mark-up Model
Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen,
yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen
ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut :
Price = Cost + Profit Margin
Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu
prosentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat
dijabarkan menjadi :
Price = Cost + ( a% x Cost )
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen
yang menyusun cost of production dan atau penaikan pada profit margin akan
menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya
(Adwin S. Atmadja)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
57
2.4 Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang
Banyak study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan
bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga
merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena
struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak
agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya
gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana
alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar
negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta
asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik.
Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala
struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan
structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :
1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan
pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode
dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor
pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan
ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan
cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-
barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat
dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum
lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan
perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan
sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak
dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.
3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan
rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya
timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkan-
nya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan
pencetakan uang (printing of money).
Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di negara
berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di negara-
negara yang sedang berkembang kadangkala menjadi suatu fenomena jangka
panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.
Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena
moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari
ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan pada struktur
sektor keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini adalah pengaruh uang
terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi.
Menurut pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu faktor
penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi
melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) akan murah, maka volume
investasi akan meningkat. Dengan meningkatnya volume investasi, volume produksiJurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 1, No. 1, Mei 1999 : 54-67

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
58
juga akan meningkat. Sehingga, penawaran barang meningkat, yang pada
gilirannya akan menekan tingkat inflasi. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini,
timbul pendapat bahwa deregulasi di sektor finansial dan peningkatan jumlah uang
beredar akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi seraya menekan inflasi.
Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab
utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari
luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barang-
barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau
depresiasi mata uang di negara pengimpor. Menurut kesimpulan dari penelitian
M.N. Dalal dan G. Schachter (1988), bila kontribusi impor terhadap pembentukan
output domestik sangat besar, yang artinya sifat barang impor tersebut sangat
penting terhadap price behaviour di negara importir, maka kenaikan harga barang
impor akan menyebabkan tekanan inflasi di dalam negeri yang cukup besar. Selain
itu, semakin rendah derajat kompetisi yang dimiliki oleh barang impor (price
inelastic) terhadap produk dalam negeri, akan semakin besar pula dampak
perubahan harga barang impor tersebut terhadap inflasi domestik.
2.5 Jenis Inflasi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam
pengelompokan tertentu, dan pengelompokan yang akan dipakai akan sangat
bergantung pada tujuan yang hendak dicapai.
Jenis inflasi :
1. Menurut Derajatnya
Inflasi ringan di bawah 10% (single digit)
Inflasi sedang 10% - 30%.
Inflasi tinggi 30% - 100%.
Hyperinflasion di atas 100%.
Laju inflasi tersebut bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat
mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu
wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan
golongan masyarakat manakah yang terkena imbas ( yang menderita ) dari inflasi
yang sedang terjadi.
2. Menurut Penyebabnya
Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya
peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil
produksi di pasar barang. Akibatnya, akan menarik (pull) kurva permintaan
agregat ke arah kanan atas, sehingga terjadi excess demand , yang merupakan
inflationary gap. Dan dalam kasus inflasi jenis ini, kenaikan harga-harga barang
biasanya akan selalu diikuti dengan peningkatan output (GNP riil) dengan
asumsi bila perekonomian masih belum mencapai kondisi full-employment.
Pengertian kenaikkan aggregate demand seringkali ditafsirkan berbeda oleh para
ahli ekonomi. Golongan moneterist menganggap aggregate demand mengalami
kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah uang yang beredar di masyarakat.Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya
(Adwin S. Atmadja)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
59
Sedangkan, menurut golongan Keynesian kenaikkan aggregate demand dapat
disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi; investasi; government
expenditures; atau net export, walaupun tidak terjadi ekspansi jumlah uang
beredar.
Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya aggregate
supply curve ke arah kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan aggregate supply
curve bergeser tersebut adalah meningkatnya harga faktor-faktor produksi (baik
yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri) di pasar faktor produksi,
sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi di pasar komoditi. Dalam
kasus cost push inflation kenaikan harga seringkali diikuti oleh kelesuan usaha.
3. Menurut Asalnya
Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan
pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di dalam
negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat.
Imported inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan
harga-harga komoditi di luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan
perdagangan dengan negara yang bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi
pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka (open economy system).
Dan, inflasi ini dapat ‘menular’ baik melalui harga barang-barang impor maupun
harga barang-barang ekspor.
Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya
inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan
tidak ada) yang disebabkan oleh satu macam / jenis inflasi, tetapi acapkali karena
kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada faktor-faktor
ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan
yang independen dalam suatu sistem perekonomian negara. Contoh : imported
inflation seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestic inflation diikuti
dengan demand pull inflation, dsb.
3. PEMBAHASAN
3.1 Perkembangan Inflasi di Indonesia
Seperti halnya yang terjadi pada negara-negara berkembang pada umumnya,
fenomena inflasi di Indonesia masih menjadi satu dari berbagai “penyakit” ekonomi
makro yang meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat. Memang, menjelang
akhir pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan
dapat ditekan sampai pada single digit, tetapi secara umum masih mengandung
kerawanan jika dilihat dari seberapa besar prosentase kelompok masyarakat
golongan miskin yang menderita akibat inflasi. Lebih-lebih setelah semakin
berlanjutnya krisis moneter yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang
menjadi salah satu dari penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru, angka inflasi
cenderung meningkat pesat (mencapai lebih dari 75 % pada tahun 1998), dan
diperparah dengan semakin besarnya presentase golongan masyarakat miskin.
Sehingga bisa dikatakan, bahwa meskipun angka inflasi di Indonesia termasukJurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 1, No. 1, Mei 1999 : 54-67

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
60
dalam katagori tinggi, tetapi dengan meninjau presentase golongan masyarakat
ekonomi bawah yang menderita akibat inflasi cukup besar, maka sebenarnya dapat
dikatakan bahwa inflasi di Indonesia telah masuk dalam stadium awal dari
hyperinflation.
3.2 Sumber-sumber Inflasi di Indonesia
Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi
penyebab timbulnya inflasi di Indonesia, yaitu :
3.2.1 Jumlah uang beredar
Menurut sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah faktor
utama yang dituding sebagai penyebab timbulnya inflasi di setiap negara, tidak
terkecuali di Indonesia. Di Indonesia jumlah uang beredar ini lebih banyak
diterjemahkan dalam konsep narrow money ( M1 ). Hal ini terjadi karena masih
adanya anggapan, bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas
perbankan.
Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih kecil dari
pada presentase jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga, mengindikasikan
bahwa telah terjadi proses modernisasi di sektor moneter Indonesia. Juga,
mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses pengendalian jumlah uang beredar
di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi dalam kegiatan perekonomian
subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan meningkatnya laju inflasi.
Menurut data yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju
pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980-
1992 relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan,
tingkat inflasi Indonesia juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN lainnya (kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia
pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh pertumbuhan
kredit likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini dapat
merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sektor
keuangan (terutama dalam hal penurunan reserve requirement).
3.2.1 Defisit Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja
pemerintah Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia
menganut prinsip anggaran berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali
disebabkan oleh hal-hal yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia,
yang acapkali menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk
membangun.
Selama pemerintahan Orde Lama defisit anggaran belanja ini acapkali dibiayai
dari dalam negeri dengan cara melakukan pencetakan uang baru, mengingat
orientasi kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang inward looking policy, sehingga
menyebabkan tekanan inflasi yang hebat. Tetapi sejak era Orde Baru, defisit
anggaran belanja ini ditutup dengan pinjaman luar negeri yang nampaknya relatif
aman terhadap tekanan inflasi.Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya
(Adwin S. Atmadja)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
61
Dalam era pemerintahan Orde Baru, kebutuhan terhadap percepatan
pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan sejak Pembangunan Jangka Panjang
I, menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan sangat besar.
Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana pembangunan dari masyarakat
(baik dari sektor tabungan masyarakat maupun pendapatan pajak) di dalam negeri
pada saat itu yang sangat terbatas (belum berkembang), juga kemampuan sektor
swasta yang terbatas dalam melakukan pembangunan, menyebabkan pemerintah
harus berperan sebagai motor pembangunan. Hal ini menyebabkan pos pengeluaran
APBN menjadi lebih besar daripada penerimaan rutin. Artinya, peran pengeluaran
pemerintah dalam investasi tidak dapat diimbangi dengan penerimaan, sehingga
menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan negara, atau dapat
dikatakan telah terjadi defisit struktural dalam keuangan negara.
Pada saat terjadinya oil booming, era tahun 1970-an, pendapatan
pemerintah di sektor migas meningkat pesat, sehingga jumlah uang primer pun
semakin meningkat. Hal ini menyebabkan kemampuan pemerintah untuk
berekspansi investasi di dalam negeri semakin meningkat. Dengan kondisi tingkat
pertumbuhan produksi domestik yang relatif lebih lambat, akibat kapasitas produksi
nasional yang masih berada dalam keadaan under-employment, peningkatan
permintaan (investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari
masyarakat ke pemerintah., seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang
inflasi. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya tekanan inflasi.
Tetapi, sejak berubahnya orientasi ekspor Indonesia ke komoditi non migas,
sejalan dengan merosotnya harga minyak bumi di pasar ekspor (sejak tahun 1982),
menyebabkan kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional
semakin berkurang pula, sehingga pemerintah tidak dapat lagi mempertahankan
posisinya sebagai penggerak (motor) pembangunan. Dengan kondisi seperti ini,
menyebabkan secara bertahap peran sebagai penggerak utama pembangunan
nasional beralih ke pihak swasta nasional, dengan demikian sumber tekanan inflasi
pun beralih dari pemerintah beralih ke non pemerintah (swasta).
Tekanan inflasi pada periode ini lebih disebabkan oleh meningkatnya tingkat
agresifitas sektor swasta dalam melakukan ekspansi usaha, yang didukung oleh
perkembangan sektor perbankan yang semakin ekspansif pula. Dengan kondisi
sumberdaya modal domestik yang masih saja relatif terbatas, maka pinjaman luar
negeri yang sifatnya non komersial maupun komersial pun semakin meningkat.
Akibatnya, tetap saja terjadi defisit anggaran belanja negara dan neraca
pembayaran, salah satu sebabnya karena pemerintah tetap saja harus menyediakan
infrastruktur dan suprastruktur pembangunan ekonomi yang kebutuhannya
semakin meningkat. Peran pemerintah ini dapat dimaklumi karena kemampuan
swasta nasional dalam pembangunan infrastruktur ekonomi masih sangat terbatas.
3.2.3 Faktor-faktor dalam Penawaran Agregat dan Luar Negeri
Kelambanan penyesuaian dari faktor-faktor penawaran agregat terhadap
peningkatan permintaan agregat ini lebih banyak disebabkan oleh adanya
hambatan-hambatan struktural ( structural bottleneck) yang ada di Indonesia.
Harga bahan pangan merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap
tingkat inflasi di Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketegaran strukturalJurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 1, No. 1, Mei 1999 : 54-67

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
62
yang terjadi di sektor pertanian sehingga menyebabkan inelastisnya penawaran
bahan pangan. Ketergantungan perekonomian Indonesia yang besar terhadap sektor
pertanian, yang tercermin oleh peranan nilai tambahnya yang relatif besar dan daya
serap tenaga kerjanya yang sedemikian tinggi serta beban penduduk yang cukup
tinggi, mengakibatkan harga bahan pangan meningkat pesat. Umumnya, laju
penawaran bahan pangan tidak dapat mengimbangi laju permintaannya, sehingga
sering terjadi excess demand yang selanjutnya dapat memunculkan inflationary gap.
Timbulnya excess demand ini disebabkan oleh percepatan pertambahan penduduk
yang membutuhkan bahan pangan tidak dapat diimbangi dengan pertambahan
output pertanian, khususnya pangan. Di sisi lain, kelambanan produksi bahan
pangan disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah tingkat modernisasi
teknologi dan metode pertanian yang kurang maksimal; adanya faktor-faktor
eksternal dalam pertanian seperti, perubahan iklim dan bencana alam; perpindahan
tenaga kerja pertanian ke sektor non pertanian akibat industrialisasi; juga semakin
sempitnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian, yang disebabkan semakin
banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi sebagai lokasi perumahan; industri;
dan pengembangan kota.
Lebih lanjut, menurut hasil study empiris yang pernah dilakukan oleh Sri
Mulyani Indrawati (1996), selain harga bahan pangan, kontributor inflasi di
Indonesia lainnya dari sisi penawaran agregat adalah imported inflation,
administrated goods, output gap, dan interest rate.
Pertama, imported inflation ini terjadi akibat tingginya derajat ketergantungan
sektor riil di Indonesia terhadap barang-barang impor, baik capital goods;
intermediated good; maupun row material. Transmisi imported inflation di Indonesia
ini terjadi melalui dua hal, yaitu depresiasi rupiah terhadap mata uang asing dan
perubahan harga barang impor di negara asalnya.
Bila suatu ketika terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap mata
uang asing, maka akan menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang harus
ditanggung oleh produsen, baik itu untuk pembayaran bahan baku dan barang
perantara ataupun beban hutang luar negeri akibat ekspansi usaha yang telah
dilakukan. Hal ini menyebabkan harga jual output di dalam negeri (khususnya
untuk industri subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga potensial
meningkatkan derajat inflasi di dalam negeri. Tetapi, untuk industri yang bersifat
promosi ekspor, depresiasi tersebut tidak akan membawa dampak buruk yang
signifikan.
Berkaitan dengan posisi hutang luar negeri Indonesia, pada periode tahun 1990-
an, telah membengkak dengan tingkat debt service ratio yang semakin tinggi, yaitu
lebih dari 40 %, dan presentase tingkat hutang yang bersifat komersial telah
melampaui hutang non komersial. Menyebabkan, timbulnya hal yang sangat
membahayakan ketahanan ekonomi nasional, terutama pada sektor finansial,
apabila terjadi fluktuasi (memburuknya) nilai tukar (kurs), disamping dapat
mengakibatkan tekanan inflasi yang berat, khususnya imported inflation.
Kedua, administrated goods adalah barang-barang yang harganya diatur dan
ditetapkan oleh pemerintah. Meskipun pengaruhnya secara langsung sangat kecil
dalam mempengaruhi tingkat inflasi, tetapi secara situasional dan tidak langsung
pengaruhnya dapat menjadi signifikan. Contoh, apabila terjadi kenaikan BBM, maka
bukan saja harga BBM yang naik, harga barang atau tarif jasa yang terkait denganInflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya
(Adwin S. Atmadja)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
63
BBM juga akan ikut dinaikan oleh masyarakat. Akibatnya, dapat memperberat
tekanan inflasi.
Ketiga, output gap adalah perbedaan antara actual output (output yang
diproduksi) dengan potential output (output yang seharusnya dapat diproduksi
dalam keadaan full employment). Adanya kesenjangan (gap) ini terjadi karena
faktor-faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi belum maksimal dan
atau efisien.
Keempat, interest rate juga merupakan faktor penting yang menyumbang angka
inflasi di Indonesia. Memang pada awalnya merupakan hal yang cukup
membingungkan dalam menentukan manakah yang menjadi independent variable
atau dependent, antara inflasi dan suku bunga. Tetapi, bila ditilik dari sisi biaya
produksi dan investasi (sisi penawaran), maka jelaslah bahwa suku bunga dapat
dikatagorikan dalam komponen biaya-biaya tersebut. Dengan relatif tingginya
tingkat suku bunga perbankan di Indonesia, menyebabkan biaya produksi dan
investasi di Indonesia, yang dibiayai melalui kredit perbankan, akan tinggi juga.
Jadi, apabila tingkat suku bunga meningkat, maka biaya produksi akan meningkat,
selanjutnya akan meningkatkan pula harga output di pasar, akibatnya terjadi
tekanan inflasi. Akhirnya, relasi antara tingkat suku bunga dan inflasi ini bisa
menjadi interest rate-price spiral.
3.3 Pengendalian Inflasi di Indonesia
Sebagaimana halnya yang umum terjadi pada negara – negara berkembang,
inflasi di Indonesia relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat
struktural ekonomi bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat monetary
policies. Sehingga bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh push inflation lebih
besar dari pada demand pull inflation.
Memang dalam periode tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat terjadinya oil
booming, tekanan inflasi di Indonesia disebabkan meningkatnya jumlah uang
beredar. Tetapi hal tersebut tidak dapat mengabaikan adanya pengaruh yang
bersifat struktural ekonomi, sebab pada periode tersebut, masih terjadi kesenjangan
antara penawaran agregat dengan permintaan agregat, contohnya di sub sektor
pertanian, yang dapat meningkatkan derajat inflasi.
Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan
moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum. Pemerintah Indonesia
lebih senang menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam inflasi,
misalnya dengan open market mechanism atau reserve requirement. Tetapi perlu
diingat, bahwa pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi inflasi
dalam jangka pendek, dan sangat baik diterapkan peda negara-negara yang telah
maju perekonomiannya, bukan pada negara berkembang yang masih memiliki
structural bottleneck. Jadi, apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat
utama dalam mengendalikan inflasi di negara berkembang, maka tidak akan dapat
menyelesaikan problem inflasi di negara berkembang yang umumnya berkarak-
teristik jangka panjang.
Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada saat krisis moneter yang
selanjutnya menjadi krisis ekonomi, inflasi di Indonesia dipicu oleh kenaikan harga
komoditi impor ( imported inflation) dan membengkaknya hutang luar negeri akibatJurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 1, No. 1, Mei 1999 : 54-67

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
64
dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang
asing lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan inflasi, maka terlebih
dahulu harus dilakukan penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing,
khususnya dolar Amerika.
Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih banyak
memainkan instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight money policy
yang diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk
menginvestasikan modalnya ke Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan
tingkat harga umum.
Tight money policy yang dilakukan dengan cara menaikkan tingkat suku bunga
SBI (melalui open market mechanism) sangat tinggi, pada satu sisi akan efektif
untuk mengurangi money suplly, tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga
kredit untuk sektor riil. Akibatnya, akan menyebabkan timbulnya cost push inflation
karena adanya interest rate-price spiral. Apabila tingkat suku bunga (deposito)
perbankan sudah terlalu tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi
atau berusaha) yang ada di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan
dapat menyebabkan timbulnya stagnasi atau bahkan penurunan output produksi
nasional (disebut dengan Cavallo effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif spread
pada dunia perbankan nasional, maka bukan saja menimbulkan kerusakan pada
sektor riil, tetapi juga kerusakan pada industri perbankan nasional (sektor moneter).
Jika kebijaksanaan ini terus dilakukan oleh pemerintah dalam jangka waktu
menengah atau panjang, maka akan terjadi depresi ekonomi, akibatnya struktur
perekonomian nasional akan rusak.
Jika demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi
bukan hanya dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi juga dengan
memperhatikan cara pandang kaum structuralist, yang lebih memandang perlunya
mengatasi hambatan-hambatan struktural yang ada.
Dengan berpedoman pada berbagai hambatan dalam pembangunan perekonomi-
an Indonesia yang telah disebutkan di atas, maka perlu berbagai upaya
pembenahan, yaitu :
3.3.1 Meningkatkan Supply Bahan Pangan
Meningkatkan supply bahan pangan dapat dilakukan dengan lebih memberikan
perhatian pada pembangunan di sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian
pangan. Modernisasi teknologi dan metode pengolahan lahan, serta penambahan
luas lahan pertanian perlu dilakukan untuk meningkatkan laju produksi bahan
pangan agar tercipta swasembada pangan.
3.3.2 Mengurangi Defisit APBN
Mungkin dalam masa krisis ekonomi mengurangi defisit APBN tidak dapat
dilaksanakan, tetapi dalam jangka panjang (setelah krisis berlalu) perlu dilakukan.
Untuk mengurangi defisit anggaran belanja, pemerintah harus dapat meningkatkan
penerimaan rutinnya, terutama dari sektor pajak dengan benar dan tepat karena hal
ini juga dapat menekan excess demand. Dengan semakin naiknya penerimaan dalam
negeri, diharapkan pemerintah dapat mengurangi ketergantungannya terhadapInflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya
(Adwin S. Atmadja)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
65
pinjaman dana dari luar negeri. Dengan demikian anggaran belanja pemerintah
nantinya akan lebih mencerminkan sifat yang relative independent.
3.3.3 Meningkatkan Cadangan Devisa
Pertama, perlu memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri (current
account), terutama pada perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit. Dengan
demikian diharapkan cadangan devisa nasional akan dapat ditingkatkan. Juga,
diusahakan untuk meningkatkan kinerja ekspor, sehingga net export harus semakin
meningkat.
Kedua, diusahakan agar dapat mengurangi ketergantungan industri domestik
terhadap barang-barang luar negeri, misalnya dengan lebih banyak memfokuskan
pembangunan pada industri hulu yang mengolah sumberdaya alam yang tersedia di
dalam negeri untuk dipakai sebagai bahan baku bagi industri hilir. Selain itu juga
perlu dikembangkan industri yang mampu memproduksi barang-barang modal
untuk industri di dalam negeri.
Ketiga, mengubah sifat industri dari yang bersifat substitusi impor kepada yang
lebih bersifat promosi ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor harga dan
meningkatkan net export.
Keempat, membangun industri yang mampu menghasilkan nilai tambah yang
tinggi dan memiliki kandungan komponen lokal yang relatif tinggi pula.
3.3.4 Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran Agregat
Pertama, mengurangi kesenjangan output (output gap) dengan cara
meningkatkan kualitas sumberdaya pekerja, modernisasi teknologi produksi, serta
pembangunan industri manufaktur nasional agar kinerjanya meningkat. Kedua,
memperlancar jalur distribusi barang nasional, supaya tidak terjadi kesenjangan
penawaran dan permintaan di tingkat regional (daerah). Ketiga, menstabilkan
tingkat suku bunga dan menyehatkan perbankan nasional, tujuannya untuk
mendukung laju proses industrialisasi nasional. Keempat, menciptakan kondisi yang
sehat dalam perekonomian agar market mechanism dapat berjalan dengan benar,
dan mengurangi atau bahkan menghilangkan segala bentuk faktor yang dapat
menyebabkan distorsi pasar. Kelima, melakukan program deregulasi dan debirokrasi
di sektor riil karena acapkali birokrasi yang berbelit dapat menyebabkan high cost
economy.
Dengan menggunakan dua pendekatan (moneterist dan strukturalist) pada
komposisi yang tepat, maka diharapkan bukan saja dalam jangka pendek inflasi
dapat dikendalikan, tetapi juga dalam jangka panjang. Dan, bila ada upaya yang
serius untuk memperkecil atau bahkan menghilangkan hambatan-hambatan
struktural yang ada, maka akan berakibat pada membaiknya fundamental ekonomi
Indonesia.Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 1, No. 1, Mei 1999 : 54-67

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
66
4. KESIMPULAN
Masalah inflasi di Indonesia ternyata bukan saja merupakan fenomena jangka
pendek, tetapi juga merupakan fenomena jangka panjang. Dalam arti, bahwa inflasi
di Indonesia bukan semata-mata hanya disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan
kebijaksanaan di sektor moneter oleh pemerintah, yang seringkali dilakukan untuk
tujuan menstabilkan fluktuasi tingkat harga umum dalam jangka pendek, tetapi
juga mengindikasikan masih adanya hambatan-hambatan struktural dalam
perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya dapat diatasi. Apabila mengacu
pada usaha pengeliminasian hambatan-hambatan struktural tersebut, maka mau
tidak mau harus memperhatikan dengan seksama pembangunan ekonomi di sektor
riil. Dengan melakukan pembenahan di sektor riil secara tepat, bahkan mungkin
sampai pada tahap messo dan micro ekonomi, maka kemantapan fundamental
ekonomi Indonesia dapat diperkokoh.
Defisit APBN; peningkatan cadangan devisa; pembenahan sektor pertanian
khususnya pada sub sektor pangan; pembenahan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi posisi penawaran agregat merupakan hal-hal yang perlu
mendapatkan penanganan yang serius untuk dapat menekan inflasi ke tingkat yang
serendah mungkin di Indonesia, disamping tentunya pengelolaan tepat dan
pembenahan di sektor moneter.
DAFTAR PUSTAKA
Boediono (1997), Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No: 2 ; Ekonomi Makro, edisi
keempat; Yogyakarta, BPFE.
Cavanese, A. J., The Structuralist Explanation in the Theory of Inflation, Word
Development, No. 10 halaman 523-529.
Dalal, M.N., Schacher, G. (July 1988), Transmission of International Inflation to
India : A Structural Analisis, The Journal of Developing Areas, No. 23, halaman
85-104.
Friedman, Milton (March 1984), The Role of Monetary Policy, American Economic
Review, halaman 57-71.
Fry, M.J., (Maret 1971), Money and Capital or Financial Deepening in Economic
Development ?, Journal of Money, Credit and Banking, No. 1, halaman 22-45.
Gunawan, Anton H. (Januari 1991), Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia,
PAU-Ekonomi-UI, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Indrawati, Sri Mulyani (1996), Sumber-Sumber Inflasi di Indonesia, Makalah dalam
Seminar ISEI dan PERHEPI, Jakarta.Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya
(Adwin S. Atmadja)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/
67
Lim, J. (September 1987), The New Structuralist Critique of The Monetarist Theory of
Inflation, Journal of Development Economic, No. 25.
McKinnon, R.I (1973)., Money and Capital in Economic Development, Washinton DC :
Brooking.
Tambunan, Tulus T.H. (1996), Perekonomian Indonesia, Jakarta, Galia Indonesia.
Van Wijnbergen, S. (September 1982), Credit Policy, Inflation and Growth in a
Financially Repressed Economy, Journal of Development Economics, No. 13,
halaman 45-65


INFLASI di LAOS :
Tingkat inflasi tahunan rata-rata sekitar 11,5 persen 1985-1989.. Pada tahun 1989, bagaimanapun, inflasi meningkat secara dramatis, menjadi 52 persen, didorong oleh peningkatan besar dalam jumlah uang beredar dan devaluasi tidur dan diperparah oleh penurunan devisa disebabkan oleh larangan ekspor kehutanan dan pengurangan sementara ekspor pembangkit listrik tenaga air ke Thailand. Kebijakan moneter yang diperketat pada tahun 1990, , kredit yang dialokasikan ke perusahaan milik negara yang tidak menguntungkan dibatasi melalui Keputusan 17 dan melalui suku bunga yang lebih tinggi. Akibatnya, pertumbuhan M2 diadakan hanya 2,3 persen pada tahun 1990.. harga makanan yang lebih rendah sebagai hasil panen yang baik pada tahun 1989 dan 1990 setelah tahun-tahun kekeringan juga membantu untuk memperlambat inflasi menjadi sekitar 20 persen, inflasi terus menurun perlahan hingga 1994 - untuk sekitar 9 persen.
Tingkat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Laos diperkirakan mencapai 7,2% untuk 2005, demikian menurut laporan pada pertemuan pemerintah di Vientiane 20 dan 21 Juli.
Negara itu diperkirakan mencapai kenaikan dalam nilai produksi 13% , kenaikan di bidang jasa 8,0%, 3,5% bidang pertanian dan kenaikan dalam ekspor sebesar 6,0%.
Laos tahun ini berusaha keras mengurangi tingkat angka kemiskinan dengan 52.000, tulis laporan itu.
Para anggota kabinet pemerintah Laos tengah membicarakan dan menyetujui langkah-langkah mengawasi inflasi dan kenaikan harga guna menjamin stabilitas pembangunan dan ekonomi.
Pemerintah Laos membuat berbagai persiapan untuk pertemuan tingkat menteri Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Konferensi Tingkat Menteri Pos ASEAN dan Forum ASEAN ke-12 yang dijadwalkan diadakan di Vientiane mulai 25 hingga 29 Juli
Tingkat inflasi di laos:
Tahun Inflasi
2003 : 10,00 %
2004 : 15,30 %
2005 : 12,30 %
2006 : 7,00 %
2007 : 6,80 %
2008 : 4,50 %
2009 : 8,60 %
2010 : ,00%
2011 : 6,00 %

SUMBER : GOOGLE