Sejarah Perjalanan hidup Jokowi atau Joko Widodo
Asal mula nama "Jokowi"
Saya terlahir dengan nama asli Joko Widodo. Tetapi ketika masih aktif
menangani bisnis mebel dan punya buyer asal Prancis, Michl Romaknan, ia
mengaku bingung. Pasalnya Michl yang membeli mebel dari Jepara,
Semarang, dan Surabaya selalu bertemu orang bernama Joko. Eh, begitu di
Solo, bertemu saya yang juga disapa Joko. Untuk membedakan dengan
Joko-Joko yang lain, ia menyapa saya dengan nama Jokowi.
Saya tidak keberatan dengan sapaan itu, malah senang. Seperti ada
personal brand tersendiri. Apalagi nama itu terdengar seperti nama
petenis dunia, Djokovic. Ha ha ha…Sejak 1991 nama Jokowi saya pakai.
Nama yang tertera di kartu nama saya, ya, Jokowi. Bahkan sampai menjadi
walikota pun nama saya tetap Jokowi. Penggantian nama itu tanpa membuat
tumpengan, lho. Ha ha ha…
Masa Kecil Jokowi
Sebenarnya menjadi walikota bukanlah cita-cita masa kecil saya. Waktu
kecil saya justru bercita-cita jadi tukang kayu. Bagaimana tidak, saya
memang tumbuh di lingkungan tukang kayu. Bapak saya, Noto Mihardjo,
seorang penjual kayu dan bambu di bantaran kali Karanganyar, Solo.
Jangan membayangkan Bapak saya itu pengusaha kayu besar, ya. Kecil saja
usahanya karena cuma penjual kayu gergajian. Jadi bisa dibayangkan tho ,
saya bukan berasal dari keluarga kaya.
Saya berasal dari keluarga kelas bawah, bahkan bawah sekali.
Tumbuh di Bantaran Kali
Sebagai keluarga penjual kayu, saya tumbuh menjadi anak yang terbiasa
hidup sulit. Kadang sulit makan, mbayar sekolah juga kerap kesulitan
biaya. Sayang, rumah masa kecil saya kini sudah digusur, jadi tidak bisa
dilihat untuk mengenang seperti apa kehidupan saya dulu.
Dan seperti anak kecil pada umumnya, saya juga suka sekali main. Tetapi
saya tidak tergolong anak yang nakal. Nglidhig (bandel, Red. ) iya, tapi
nakal tidak. Dulu, saya suka mandi di sungai di belakang rumah. Cari
telur bebek di dekat-dekat sungai. Kalau enggak dapat, ya, cari terus
sampai dapat. Memancing ikan, main layang-layang, main sepak bola, ya,
di sepanjang sungai. Dulu sungainya masih lebar, beda dengan sekarang
yang sudah banyak dibangun rumah.
Masa Sekolah Jokowi
Oh ya, saya lahir di Solo 21 Juni 1961 sebagai anak sulung dari empat
bersaudara. Tiga adik saya perempuan. Karena saya paling besar, saya
sering membantu Ibu, Sujiatmi, mengasuh adik-adik. Kadang mengantar
mereka sekolah. Kalau mereka ada masalah dengan pekerjaan rumah, saya
juga membantu mereka. Bahkan ketika adik-adik beranjak besar, saat ada
masalah dengan pacarnya, saya turut membantu memecahkan masalahnya.
Yang pantas saya kenang dan banggakan adalah, nilai sekolah saya selalu
bagus. Kalau enggak juara satu, ya, juara umum lah. Padahal belajar saja
saya tidak pernah, lho. Masa SMP hingga SMA saya lalui tanpa hal yang
istimewa. Di luar jam sekolah saya membantu orangtua, misalnya menagih
pembayaran kepada pelanggan yang membeli kayu atau menaikkan kayu yang
sudah dibeli orang ke atas gerobak atau becak.
Masa Remaja Jokowi
Selepas SMA saya meneruskan kuliah ke Jurusan Teknologi Kayu, Fakultas
Kehutanan, Universitas Gadjah Mada dan lulus tahun 1985. Saya bisa
kuliah atas kebaikan keluarga besar Bapak dan Ibu yang mampu membiayai
kuliah. Bahkan Kakek juga ikut membantu dengan menjual sapinya. Intinya,
banyak orang membantu saya. Selama kuliah, saya kos di Yogyakarta.
Seminggu atau sebulan sekali pulang ke Solo naik bus. Rumah kosnya cari
yang murah, karena itu sempat pindah sampai lima kali.
Nah, sejak tingkat satu saya sudah mulai pacaran dengan gadis cantik nan
sederhana yang bernama Iriana. Dia teman adik saya yang sering bermain
ke rumah, jadi kami sering bertemu. Sejak kenal Iriana, saya tak pernah
pindah ke lain hati sampai akhirnya kami menikah pada 24 Desember 1986.
Masa Meniti Karir Bisnis
Setelah selesai kuliah pada 1985, saya lalu bekerja di sebuah BUMN di
Aceh selama 1,5 tahun. Kemudian saya menikahi Iriana. Kini kami
dikaruniai tiga buah hati, Gibran Rakabumi (25), Kahiyang Ayu (21), dan
Kaesang Pangarep (17).
Jadi Eksportir
Saya memutuskan berhenti kerja dari BUMN dan pulang ke Solo untuk
merintis bisnis mebel dengan modal minus. Artinya, saya harus pinjam
uang ke bank. Agunannya, sertifikat tanah milik orangtua. Risiko yang
harus saya tanggung, jika tidak bisa mengembalikan uang berarti tanah
melayang. Tetapi sejak dulu saya orangnya optimis, karena untuk memulai
satu pekerjaan modalnya hanya itu. Selain optimis, saya juga
menyertainya dengan kerja keras.
Sembilan tahun lamanya saya kerja dari pagi hingga pagi lagi karena
merasa tak punya apa-apa.
Saya rasa, sebagian besar orang Solo tahu tempat usaha saya dulu seperti
apa. Dimulai dari sewa tempat yang terbuat dari gedheg (anyaman bambu,
Red. ) kecil. Waktu itu saya baru mampu mempekerjakan tiga tenaga,
sehingga mulai dari masah kayu hingga membuat konstruksi dan nyemprot
mebel, saya lakukan sendiri. Sampai kini pun, misalnya, saya disuruh
membuat mebel dengan mesin yang amat sederhana hingga mesin modern, ya,
masih bisa. Urusan marketing pun saya lakukan sendiri.
Saya kerja melebihi jam kerja orang lain. Kalau enggak percaya, tanya
saja istri saya. Kadang saya sampai tidur di pabrik untuk menyelesaikan
pekerjaan. Ini saya lakukan selama sembilan tahun! Buat saya,
kesempatannya hanya itu. Kalau tidak saya pergunakan dengan baik,
habislah saya.
Oh, ya, saat itu saya baru punya satu anak. Karena sering tidur di
pabrik, saya jadi jarang membimbing anak belajar atau membantu
mengerjakan PR-nya. Tetapi antar-jemput anak ke sekolah masih bisa saya
lakukan. Selama itu pula istri menemani saya jatuh bangun merintis
bisnis. Dulu, rambutnya sering kotor terkena serbuk gergaji kayu karena
dia juga sering menemani saya hingga malam hari di pabrik.
Mebel paling awal yang saya buat adalah bedroom set . Dulu jualannya
hanya di Solo saja.
Setelah tiga tahun berjalan, saya sudah mulai bisa mengekspor.
Perjuangan saya menjadi eksportir dimulai dari menjadi anak angkat Perum
Gas Negara. Saya mengenal Perum Gas Negara melalui Desperindag. Saat
itu saya diikutkan dalam kualifikasi sehingga bisa mendapatkan “bapak
angkat”. Begitulah Tuhan memberi jalan.
Awalnya oleh Perum Gas Negara saya dipinjami deposito untuk modal pinjam
uang ke bank. Semula saya hanya akan dipinjami Rp 50 juta. Saya bilang,
“Maaf, saya ingin bikin ‘nasi’. Kalau cuma dipinjami Rp 50 juta,
‘bubur’ saja tidak akan jadi. Saya tidak mau.” Setelah itu saya
tunjukkan rencana kerja saya kepada mereka. Akhirnya mereka percaya dan
mau meminjami lebih.
Saat itu tahun 1996, saya berhasil meminjam uang yang kalau sekarang
nilainya sekitar Rp 600 juta. Saya diberi target, setelah dua tahun saya
harus bisa ekspor. Ternyata baru enam bulan saya sudah mampu
mengekspor. Utang pun mampu saya lunasi dalam waktu tiga tahun. Malah
tahun berikutnya saya dapat pinjaman lebih besar lagi.
Pertama kali menjadi eksportir, tiga bulan saya baru kirim satu
kontainer, ha ha ha… Setelah rajin ikut pameran, dalam satu bulan sudah
ada permintaan 18 kontainer. Awalnya saya ikut pameran di Jakarta, lalu
ke Singapura dan akhirnya ke Eropa, Amerika Eropa Timur, dan Timur
Tengah. Rasanya semua benua sudah saya datangi. Pokoknya kalau ada pasar
baru, sudah dipastikan saya bisa masuk. Hasilnya, hampir semua negara
jadi tujuan ekspor usaha mebel saya.
Setelah sampai di skala itu pun saya masih tetap terjun langsung ke
lapangan. Saya punya prinsip, selalu menerima order yang masuk. Kalau
tak mampu saya tangani, akan saya ‘lempar’ ke teman-teman, tapi tetap
saya yang pegang kontrol. Keputusan-keputusan seperti ini memang harus
dihitung matang dengan detail plus-minus risikonya. Tak bisa diputuskan
di belakang meja, karena bisa keliru.
Menjadi Wali Kota Solo
Nah, sejak saya jadi walikota, bisnis mebel kemudian ditangani adik
saya, sebab ketiga anak saya belum ada yang tertarik ke dunia mebel. Si
sulung Gibran yang saya sekolahkan di bidang marketing di Singapura dan
Australia justru tertarik ke bisnis katering. Walau sedikit kecewa, tapi
saya bangga dia berhasi dengan usaha pilihannya.
Calon Walikota
Di kalangan tukang kayu, nama saya memang dikenal. Tetapi ketika
mencalonkan diri sebagai calon walikota, tak ada yang mengenal siapa
Jokowi. Jujur, keinginan mencalonkan diri ini tidak datang dari diri
pribadi, tapi didorong-dorong teman-teman di Asmindo (Jokowi adalah
Ketua Asmindo periode 2002-2005, yang anggotanya para pebisnis kayu dan
mebel, Red. ). Merekalah yang meminta saya terjun ke dunia politik. Jadi
ketika kemudian benar-benar jadi walikota, bagi saya itu ‘kecelakaan’
karena tidak ada persiapan sama sekali, ha ha ha…
Kendati demikian, sebelum akhirnya nyalon saya membuat kalkulasi yang
matang. Peta lapangannya saya hitung dan kuasai. Untuk apa nyalon
walikota kalau untuk kalah? Saya akhirnya bersedia maju, ya, untuk
menang. Hasil kalkulasi saya, kesempatan menang ketika itu 50 persen.
Semisal bila hasilnya 30 persen, saya tidak akan mau maju.
Saya merasa optimis karena saat itu calon lain banyak-banyakan pasang
gambar billboard , sementara saya memilih door to door .
Saya dan Pak Rudy (FX Hadi Rudyatmo, Wakil Walikota Solo sekarang, Red. )
mendatangi sendiri warga dari RT ke RT. Hampir setiap hari seperti itu.
Yang kira-kira termasuk ‘pasar’ saya, saya masuki. Saya sodorkan
visi-misi saya menjadi walikota. Ketika bertemu warga, saya ajak mereka
bicara. Dari sini saya tahu apakah orang itu mendukung saya atau tidak.
Kepada warga pula, ketika itu saya menawarkan tiga hal. Yakni soal
perbaikan kesehatan, pendidikan, dan penataan kota. Saya memang merasa
penataan Kota Solo semrawut, tidak rapi dan tertata. Kawasan kumuh ada
di semua titik. Pedagang kaki lima bertebaran di mana-mana sehingga
pasar tradisional melimpah ke jalan. Becek, bau dan kotor.
Hobi Mendengarkan Musik Rock
Karier Jokowi sebagai pejabat publik semakin bersinar di masa jabatannya
yang kedua (2010-2015). Konsekuensinya, ia semakin sibuk sehingga tak
bisa lagi ‘menghilang’ dari Solo selama akhir pekan, sebagaimana dulu
rutin ia lakukan. Beruntung, Jokowi punya cara jitu untuk refreshing ,
yakni nonton konser musik cadas kesukaannya. Ia juga masih berharap bisa
‘ngilang’ setelah tidak menjabat walikota. Mungkinkah itu bisa
dilakukan, mengingat banyak pihak menginginkan ia menjadi orang nomor
satu di DKI Jakarta?
Izinkan saya mengulang sedikit kisah masa remaja saya. Seperti remaja
lainnya, saya juga memiliki hobi. Kebetulan hobi saya sejak duduk di
SMAN 6 Solo adalah mendengarkan musik rock.
Grup-grup musik rock yang saya suka misalnya Sepultura, Led Zeplin, Deep
Purple, Metallica, Palm Desert, Linkink Park, dan Lamb of God. Banyak
lah. Mau nyebut 100 grup rock juga bisa, ha ha ha. Intinya grup-grup
rock lama, saya suka.
Hobi mendengarkan dan nonton pertunjukan musik itu terus berlanjut
hingga saya duduk di Fakultas Kehutanan, bahkan sampai sekarang.
Bedanya, bila zaman SMA atau kuliah saya hanya bisa memburu nonton
konser musik rock di Jogja dan Solo, sekarang saya bisa mengejar nonton
sampai ke Jakarta atau Singapura. Hitung-hitung refreshing lah. Masak
ngurusi pekerjaan terus, kan, pusing. Kalau bisa pun, saya ingin
mengundang grup musik rock ke Solo. Saya ingin nonton pertunjukan mereka
bersama masyarakat Solo.
Begitu kesengsemnya pada musik rock, dulu saya juga pernah ikut-ikutan
memanjangkan rambut hingga sepunggung. Biar keren seperti para pemusik
idola saya. Foto masa muda saya yang berambut gondrong juga masih saya
simpan. Tapi maaf, ya, saya tidak mau mempublikasikannya kendati sudah
banyak media yang meminta. Malu, ah! Sekarang kalau ingat masa-masa
gondrong itu, saya suka jadi malu sendiri. Anak sulung saya sempat
ikut-ikutan gondrong seperti saya di masa muda. Anehnya, saat melihat
dia gondrong, saya kok, jadi jijik, ya, ha ha ha.
Bila ada yang bertanya kenapa saya suka musik rock, ini jawabannya.
Musik rock atau musik metal itu memberi semangat. Yang namanya pemimpin,
ya, harus seperti itu. Harus berani mendobrak, memberi semangat kepada
rakyatnya. Jangan sampai pemimpin lagunya mellow . Bukan berarti saya
tidak suka musik klenengan dan keroncong, lho. Saya juga suka. Nyatanya
saya sekarang terpilih jadi Pembina Hamkri (Himpunan Artis Musik
Keroncong Indonesia) Solo. Tapi koleksi musik saya yang terbanyak, ya,
musik rock.
Nah, lalu bagaimana gaya pacaran saya dengan ibunya anak-anak? Wah, ya,
tidak bisa pacaran ke mana-mana. Paling banter makan bakso yang
murah-murah saja. Hidup kami dulu, kan, serba sederhana.
Diplomasi Makan Siang
Diplomasi Makan Siang
Di awal masa jabatan saya yang pertama, masyarakat Solo belum percaya
kepada saya. Maklum, sosok saya baru saja mereka kenal. Karena itu saya
seringkali saya mengumpulkan masyarakat untuk berdialog guna
mendengarkan aspirasi mereka. Untuk dialog semacam itu, saya lebih suka
datang sendiri dan tidak mewakilkan staf. Kalau diwakilkan lalu,
misalnya, staf saya bermental ABS (asal bapak senang), kan, repot. Bisa
keliru ambil keputusan.
Awalnya, dialog selalu berjalan alot. Isinya orang marah-marah dan
mencaci. Kalau dimasukkan hati, ya, sakit dan membuat pusing. Jadi saya
dengarkan dan catat saja apa kemauan mereka. Saya juga punya cara
tersendiri untuk berdialog dan menjalin kepercayaan dengan para pedagang
kaki lima (PKL) yang akan saya relokasi ke tempat yang lebih baik dan
nguwongake (memanusiakan, Red. ) mereka.
Itu semua demi melaksanakan janji saya dalam melakukan penataan kota.
Awalnya, mereka saya undang makan siang di rumah dinas saya. Tidak mudah
meyakinkan para PKL tentang program penataan kota. Hari ini diajak
makan siang, besoknya malah timbul kecurigaan. Spanduk berisi caci-maki
bermunculan di depan rumah. Ada yang bertuliskan “Pertahankan sampai
titik darah penghabisan!” dan disertai bambu runcing. Saya tidak ambil
hati. Malahan saya ajak mereka makan siang lagi.
Saya mengerti kekhawatiran mereka yang di masa lalu sering dibohongi
pemimpinnya. Mereka takut setelah digusur, tempat lama akan saya jadikan
mal. Diplomasi makan siang itu terus saya lakukan hingga jamuan makan
yang ke-54, saya melihat sudah saatnya mengatakan bahwa mereka, ratusan
pedagang klithikan di Banjarsari itu, akan saya relokasi ke tempat yang
baru. Ternyata tidak ada yang membantah.
Kenapa saya memakai ‘diplomasi’ makan siang? Setiap kepala daerah di
mana pun, kan, punya anggaran untuk menjamu tamu di APBD-nya. Nah,
menurut saya yang namanya tamu kepala daerah itu bukan cuma pejabat
tinggi. Pedagang kaki lima atau pedagang pasar juga tamu saya, jadi
mereka berhak saya jamu makan siang.
Kini apabila saya hendak memindahkan pedagang kaki lima atau pedagang
pasar, cukup 3-4 kali makan siang sambil berdialog, semuanya beres.
Saya memang tidak mau ada penggusuran dengan tindak kekerasan atau
pemukulan seperti di kota lain. Karena itulah, waktu itu saya justru
menempatkan kepala satpol perempuan. Kenapa tidak? Saya ingin
menunjukkan bahwa perempuan juga bisa jadi komandannya satpol. Meskipun
posisi itu baru saja saya ganti laki-laki, he he he.
Terhitung ada 23 lokasi PKL yang saya pindahkan ke tempat yang lebih
baik. Jujur, saya tidak bisa memenuhi semua keinginan mereka. Misalnya
mereka minta pelebaran jalan 9 meter, saya hanya bisa memberi 6 meter.
Yang penting ada komunikasi.
Agar PKL tidak kehilangan pembeli di tempat yang baru, saya memakai cara
unik. Di hari pindahan, saya siapkan 54 truk khusus. Mereka dikirab
dengan baju keraton ke pasar yang baru. Ini sebagai cara promosi agar
orang tahu ada pasar baru yang buka. Yang terpenting, saya ingin
ngowongake mereka. Mengangkat mereka ke level yang lebih baik dengan
status yang lebih legal. Ini, kan, dari informal menjadi formal, tho ?
Kini sudah 17 pasar tradisional yang dibangun kembali.
Masyarakat itu hanya perlu diajak berkomunikasi. Menurut saya, pemimpin
daerah harus mau nungging . Mendengarkan suara akar rumput, mendengarkan
penderitaan masyarakatnya. Keluhan masyarakat itu harus dimengerti agar
mereka tahu posisi kita ada di mana. Saya pun sadar betul, membangun
kepercayaan memang butuh proses. Ini dilihat antara kata dan perbuatan,
jangan cuma ngomong doang. Selama tujuh tahun memimpin Solo, bisa
dihitung dengan jari berapa kali saya pidato. Saya diberi posisi sebagai
walikota untuk bekerja, bukan pidato.
Walikota Teladan
(Berkat gaya kepemimpinannya yang aspiratif, Jokowi menang telak atas
rivalnya Eddy Wirabhumi-Supradi Kertamenawi pada Pemilukada 2010. Ia pun
kembali menjabat sebagai Walikota Solo periode 2010-2015.
Sepanjang perbincangan dengan NOVA, Jokowi memperlihatkan slide suasana
Kota Solo sebelum dan sesudah ditata olehnya. Bagaimana dulu pedagang
pasar tradisional tumpah hingga ke jalan raya. Di bawah komandonya,
titik kota yang dulu kumuh itu berhasil dirapikan dan dibangun pasar
yang bersih dan tertata. Pedagang harus berjualan di dalam pasar tanpa
dipungut bayaran, kecuali retribusi Rp 2.500 per hari.
Jokowi juga memperlihatkan kondisi ruangan pelayanan KTP dan ruang tamu
di kantornya yang semula “berantakan”, padahal ia harus mendatangkan
investor ke kotanya. Ruang tamu untuk para investor dan pelayanan KTP
itu lantas ia “sulap” menjadi serupa lobby sebuah bank, ada layar sentuh
yang berisi prosedur dan tata-cara berinvestasi. PNS yang melayani para
investor ia beri seragam jas biru, bukan busana PNS warna cokelat
kakhi. Pelayanan KTP pun dipermudah dan dipercepat.
Menjadi Wali Kota Teladan
Selama lima tahun kepemimpinannya Jokowi memenuhi janjinya, bukan saja
menata kota tetapi juga memutus mata rantai kemiskinan dengan
meluncurkan dana untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Termasuk program
perbaikan gizi anak serta menekan angka kematian ibu dan anak pasca
persalinan.
Inovasi itulah yang akhirnya membuahkan penghargaan sebagai Walikota
Teladan dari Mendagri pada April 2011)
Saya sadar, anak-anak adalah aset masa depan bangsa. Karena itu saya
memberikan perhatian khusus kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu
agar bisa terus sekolah. Menurut saya, satu-satunya yang bisa memutus
tali kemiskinan adalah pendidikan. Karena itu saya kemudian menawarkan
solusi membuat kartu Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta
(BPMKS) dari jenjang SD hingga SMA.
Untuk anak yang memperoleh kartu Platinum, ia akan memperoleh seragam,
buku, beasiswa dan sepatu gratis. Sementara pemegang kartu Gold bisa
membayar sekolah setengahnya saja. Sementara ini memang hanya berlaku
untuk sekolah tertentu karena anggarannya belum cukup, masih
diotak-atik. Ada juga pemegang kartu Silver untuk siswa dari keluarga
mampu yang bersekolah di Kota Solo pada jenjang SD/MI Negeri serta
SMP/MTs Negeri dan jenjang SDLB, SMPLB Negeri dan SMALB Swasta.
Saya juga mengeluarkan kartu Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta
(PKMS). Kartu ini bisa dipakai untuk berobat gratis di 12 rumah sakit
dan 17 Puskesmas, termasuk untuk terapi kanker seperti kemoterapi dan
cuci darah. Jenisnya sama, Silver dan Gold. Silver untuk yang miskin
“ragu-ragu” atau tidak jelas kemiskinannya, Gold untuk masyarakat yang
sudah jelas miskin. Kartu PKMS sudah sekitar 4 tahun lalu diluncurkan,
sementara kartu BPMKS baru dua tahun ini.
Dua jenis kartu ini hanya ada di Solo. Biayanya saya ambilkan dari APBD.
Asal tahu saja, ya, dulu untuk jaminan kesehatan anggarannya hanya Rp
1,4 M. Setelah ada kartu, saya siapkan Rp 19 M. Dulu untuk beasiswa
pendidikan hanya ada dana Rp 3,4 M. Sekarang Rp 23 M. Insya Allah cukup.
Saya juga menaruh perhatian khusus pada masalah kesehatan ibu dan anak.
Dulu anggaran untuk perbaikan gizi anak hanya Rp 41 juta, sekarang Rp
1,4 M. Naiknya berapa kali lipat, coba? Saya tahu anak itu masa depan
kita, jadi harus digarap sejak dini, salah satunya dengan program
makanan tambahan di sekolah. Semua sistem ini hanya ribet di awalnya.
Setelah ketemu metodenya dan berjalan, mudah saja.
Itulah sedikit banyak tentang perjalanan hidup joko widodo serta
profile dan biodata Jokowi, semoga dapat menambah pengetahuan para
pembaca semua khususnya tentang Jokowi.
sumber: Tabloid Nova / duniabaca.com