Selasa, 18 Juni 2013

Sejarah Perjalanan Jokowi

Sejarah Perjalanan hidup Jokowi atau Joko Widodo 
Asal mula nama "Jokowi"

Saya terlahir dengan nama asli Joko Widodo. Tetapi ketika masih aktif menangani bisnis mebel dan punya buyer asal Prancis, Michl Romaknan, ia mengaku bingung. Pasalnya Michl yang membeli mebel dari Jepara, Semarang, dan Surabaya selalu bertemu orang bernama Joko. Eh, begitu di Solo, bertemu saya yang juga disapa Joko. Untuk membedakan dengan Joko-Joko yang lain, ia menyapa saya dengan nama Jokowi. Saya tidak keberatan dengan sapaan itu, malah senang. Seperti ada personal brand tersendiri. Apalagi nama itu terdengar seperti nama petenis dunia, Djokovic. Ha ha ha…Sejak 1991 nama Jokowi saya pakai. Nama yang tertera di kartu nama saya, ya, Jokowi. Bahkan sampai menjadi walikota pun nama saya tetap Jokowi. Penggantian nama itu tanpa membuat tumpengan, lho. Ha ha ha…

Masa Kecil Jokowi
 
Sebenarnya menjadi walikota bukanlah cita-cita masa kecil saya. Waktu kecil saya justru bercita-cita jadi tukang kayu. Bagaimana tidak, saya memang tumbuh di lingkungan tukang kayu. Bapak saya, Noto Mihardjo, seorang penjual kayu dan bambu di bantaran kali Karanganyar, Solo. Jangan membayangkan Bapak saya itu pengusaha kayu besar, ya. Kecil saja usahanya karena cuma penjual kayu gergajian. Jadi bisa dibayangkan tho , saya bukan berasal dari keluarga kaya.

Saya berasal dari keluarga kelas bawah, bahkan bawah sekali. Tumbuh di Bantaran Kali Sebagai keluarga penjual kayu, saya tumbuh menjadi anak yang terbiasa hidup sulit. Kadang sulit makan, mbayar sekolah juga kerap kesulitan biaya. Sayang, rumah masa kecil saya kini sudah digusur, jadi tidak bisa dilihat untuk mengenang seperti apa kehidupan saya dulu. Dan seperti anak kecil pada umumnya, saya juga suka sekali main. Tetapi saya tidak tergolong anak yang nakal. Nglidhig (bandel, Red. ) iya, tapi nakal tidak. Dulu, saya suka mandi di sungai di belakang rumah. Cari telur bebek di dekat-dekat sungai. Kalau enggak dapat, ya, cari terus sampai dapat. Memancing ikan, main layang-layang, main sepak bola, ya, di sepanjang sungai. Dulu sungainya masih lebar, beda dengan sekarang yang sudah banyak dibangun rumah.

 
Masa Sekolah Jokowi 

Oh ya, saya lahir di Solo 21 Juni 1961 sebagai anak sulung dari empat bersaudara. Tiga adik saya perempuan. Karena saya paling besar, saya sering membantu Ibu, Sujiatmi, mengasuh adik-adik. Kadang mengantar mereka sekolah. Kalau mereka ada masalah dengan pekerjaan rumah, saya juga membantu mereka. Bahkan ketika adik-adik beranjak besar, saat ada masalah dengan pacarnya, saya turut membantu memecahkan masalahnya.

Yang pantas saya kenang dan banggakan adalah, nilai sekolah saya selalu bagus. Kalau enggak juara satu, ya, juara umum lah. Padahal belajar saja saya tidak pernah, lho. Masa SMP hingga SMA saya lalui tanpa hal yang istimewa. Di luar jam sekolah saya membantu orangtua, misalnya menagih pembayaran kepada pelanggan yang membeli kayu atau menaikkan kayu yang sudah dibeli orang ke atas gerobak atau becak.


Masa Remaja Jokowi 

Selepas SMA saya meneruskan kuliah ke Jurusan Teknologi Kayu, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada dan lulus tahun 1985. Saya bisa kuliah atas kebaikan keluarga besar Bapak dan Ibu yang mampu membiayai kuliah. Bahkan Kakek juga ikut membantu dengan menjual sapinya. Intinya, banyak orang membantu saya. Selama kuliah, saya kos di Yogyakarta. Seminggu atau sebulan sekali pulang ke Solo naik bus. Rumah kosnya cari yang murah, karena itu sempat pindah sampai lima kali.

Nah, sejak tingkat satu saya sudah mulai pacaran dengan gadis cantik nan sederhana yang bernama Iriana. Dia teman adik saya yang sering bermain ke rumah, jadi kami sering bertemu. Sejak kenal Iriana, saya tak pernah pindah ke lain hati sampai akhirnya kami menikah pada 24 Desember 1986.


Masa Meniti Karir Bisnis
 
Setelah selesai kuliah pada 1985, saya lalu bekerja di sebuah BUMN di Aceh selama 1,5 tahun. Kemudian saya menikahi Iriana. Kini kami dikaruniai tiga buah hati, Gibran Rakabumi (25), Kahiyang Ayu (21), dan Kaesang Pangarep (17).

Jadi Eksportir Saya memutuskan berhenti kerja dari BUMN dan pulang ke Solo untuk merintis bisnis mebel dengan modal minus. Artinya, saya harus pinjam uang ke bank. Agunannya, sertifikat tanah milik orangtua. Risiko yang harus saya tanggung, jika tidak bisa mengembalikan uang berarti tanah melayang. Tetapi sejak dulu saya orangnya optimis, karena untuk memulai satu pekerjaan modalnya hanya itu. Selain optimis, saya juga menyertainya dengan kerja keras.

Sembilan tahun lamanya saya kerja dari pagi hingga pagi lagi karena merasa tak punya apa-apa. Saya rasa, sebagian besar orang Solo tahu tempat usaha saya dulu seperti apa. Dimulai dari sewa tempat yang terbuat dari gedheg (anyaman bambu, Red. ) kecil. Waktu itu saya baru mampu mempekerjakan tiga tenaga, sehingga mulai dari masah kayu hingga membuat konstruksi dan nyemprot mebel, saya lakukan sendiri. Sampai kini pun, misalnya, saya disuruh membuat mebel dengan mesin yang amat sederhana hingga mesin modern, ya, masih bisa. Urusan marketing pun saya lakukan sendiri. Saya kerja melebihi jam kerja orang lain. Kalau enggak percaya, tanya saja istri saya. Kadang saya sampai tidur di pabrik untuk menyelesaikan pekerjaan. Ini saya lakukan selama sembilan tahun! Buat saya, kesempatannya hanya itu. Kalau tidak saya pergunakan dengan baik, habislah saya. Oh, ya, saat itu saya baru punya satu anak. Karena sering tidur di pabrik, saya jadi jarang membimbing anak belajar atau membantu mengerjakan PR-nya. Tetapi antar-jemput anak ke sekolah masih bisa saya lakukan. Selama itu pula istri menemani saya jatuh bangun merintis bisnis. Dulu, rambutnya sering kotor terkena serbuk gergaji kayu karena dia juga sering menemani saya hingga malam hari di pabrik. Mebel paling awal yang saya buat adalah bedroom set . Dulu jualannya hanya di Solo saja.

Setelah tiga tahun berjalan, saya sudah mulai bisa mengekspor. Perjuangan saya menjadi eksportir dimulai dari menjadi anak angkat Perum Gas Negara. Saya mengenal Perum Gas Negara melalui Desperindag. Saat itu saya diikutkan dalam kualifikasi sehingga bisa mendapatkan “bapak angkat”. Begitulah Tuhan memberi jalan. Awalnya oleh Perum Gas Negara saya dipinjami deposito untuk modal pinjam uang ke bank. Semula saya hanya akan dipinjami Rp 50 juta. Saya bilang, “Maaf, saya ingin bikin ‘nasi’. Kalau cuma dipinjami Rp 50 juta, ‘bubur’ saja tidak akan jadi. Saya tidak mau.” Setelah itu saya tunjukkan rencana kerja saya kepada mereka. Akhirnya mereka percaya dan mau meminjami lebih.

Saat itu tahun 1996, saya berhasil meminjam uang yang kalau sekarang nilainya sekitar Rp 600 juta. Saya diberi target, setelah dua tahun saya harus bisa ekspor. Ternyata baru enam bulan saya sudah mampu mengekspor. Utang pun mampu saya lunasi dalam waktu tiga tahun. Malah tahun berikutnya saya dapat pinjaman lebih besar lagi. Pertama kali menjadi eksportir, tiga bulan saya baru kirim satu kontainer, ha ha ha… Setelah rajin ikut pameran, dalam satu bulan sudah ada permintaan 18 kontainer. Awalnya saya ikut pameran di Jakarta, lalu ke Singapura dan akhirnya ke Eropa, Amerika Eropa Timur, dan Timur Tengah. Rasanya semua benua sudah saya datangi. Pokoknya kalau ada pasar baru, sudah dipastikan saya bisa masuk. Hasilnya, hampir semua negara jadi tujuan ekspor usaha mebel saya. Setelah sampai di skala itu pun saya masih tetap terjun langsung ke lapangan. Saya punya prinsip, selalu menerima order yang masuk. Kalau tak mampu saya tangani, akan saya ‘lempar’ ke teman-teman, tapi tetap saya yang pegang kontrol. Keputusan-keputusan seperti ini memang harus dihitung matang dengan detail plus-minus risikonya. Tak bisa diputuskan di belakang meja, karena bisa keliru.


Menjadi Wali Kota Solo 
 
Nah, sejak saya jadi walikota, bisnis mebel kemudian ditangani adik saya, sebab ketiga anak saya belum ada yang tertarik ke dunia mebel. Si sulung Gibran yang saya sekolahkan di bidang marketing di Singapura dan Australia justru tertarik ke bisnis katering. Walau sedikit kecewa, tapi saya bangga dia berhasi dengan usaha pilihannya. Calon Walikota Di kalangan tukang kayu, nama saya memang dikenal. Tetapi ketika mencalonkan diri sebagai calon walikota, tak ada yang mengenal siapa Jokowi. Jujur, keinginan mencalonkan diri ini tidak datang dari diri pribadi, tapi didorong-dorong teman-teman di Asmindo (Jokowi adalah Ketua Asmindo periode 2002-2005, yang anggotanya para pebisnis kayu dan mebel, Red. ). Merekalah yang meminta saya terjun ke dunia politik. Jadi ketika kemudian benar-benar jadi walikota, bagi saya itu ‘kecelakaan’ karena tidak ada persiapan sama sekali, ha ha ha… Kendati demikian, sebelum akhirnya nyalon saya membuat kalkulasi yang matang. Peta lapangannya saya hitung dan kuasai. Untuk apa nyalon walikota kalau untuk kalah? Saya akhirnya bersedia maju, ya, untuk menang. Hasil kalkulasi saya, kesempatan menang ketika itu 50 persen. Semisal bila hasilnya 30 persen, saya tidak akan mau maju. Saya merasa optimis karena saat itu calon lain banyak-banyakan pasang gambar billboard , sementara saya memilih door to door .

Saya dan Pak Rudy (FX Hadi Rudyatmo, Wakil Walikota Solo sekarang, Red. ) mendatangi sendiri warga dari RT ke RT. Hampir setiap hari seperti itu. Yang kira-kira termasuk ‘pasar’ saya, saya masuki. Saya sodorkan visi-misi saya menjadi walikota. Ketika bertemu warga, saya ajak mereka bicara. Dari sini saya tahu apakah orang itu mendukung saya atau tidak. Kepada warga pula, ketika itu saya menawarkan tiga hal. Yakni soal perbaikan kesehatan, pendidikan, dan penataan kota. Saya memang merasa penataan Kota Solo semrawut, tidak rapi dan tertata. Kawasan kumuh ada di semua titik. Pedagang kaki lima bertebaran di mana-mana sehingga pasar tradisional melimpah ke jalan. Becek, bau dan kotor.


Hobi Mendengarkan Musik Rock

Karier Jokowi sebagai pejabat publik semakin bersinar di masa jabatannya yang kedua (2010-2015). Konsekuensinya, ia semakin sibuk sehingga tak bisa lagi ‘menghilang’ dari Solo selama akhir pekan, sebagaimana dulu rutin ia lakukan. Beruntung, Jokowi punya cara jitu untuk refreshing , yakni nonton konser musik cadas kesukaannya. Ia juga masih berharap bisa ‘ngilang’ setelah tidak menjabat walikota. Mungkinkah itu bisa dilakukan, mengingat banyak pihak menginginkan ia menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta? Izinkan saya mengulang sedikit kisah masa remaja saya. Seperti remaja lainnya, saya juga memiliki hobi. Kebetulan hobi saya sejak duduk di SMAN 6 Solo adalah mendengarkan musik rock.

Grup-grup musik rock yang saya suka misalnya Sepultura, Led Zeplin, Deep Purple, Metallica, Palm Desert, Linkink Park, dan Lamb of God. Banyak lah. Mau nyebut 100 grup rock juga bisa, ha ha ha. Intinya grup-grup rock lama, saya suka. Hobi mendengarkan dan nonton pertunjukan musik itu terus berlanjut hingga saya duduk di Fakultas Kehutanan, bahkan sampai sekarang. Bedanya, bila zaman SMA atau kuliah saya hanya bisa memburu nonton konser musik rock di Jogja dan Solo, sekarang saya bisa mengejar nonton sampai ke Jakarta atau Singapura. Hitung-hitung refreshing lah. Masak ngurusi pekerjaan terus, kan, pusing. Kalau bisa pun, saya ingin mengundang grup musik rock ke Solo. Saya ingin nonton pertunjukan mereka bersama masyarakat Solo. Begitu kesengsemnya pada musik rock, dulu saya juga pernah ikut-ikutan memanjangkan rambut hingga sepunggung. Biar keren seperti para pemusik idola saya. Foto masa muda saya yang berambut gondrong juga masih saya simpan. Tapi maaf, ya, saya tidak mau mempublikasikannya kendati sudah banyak media yang meminta. Malu, ah! Sekarang kalau ingat masa-masa gondrong itu, saya suka jadi malu sendiri. Anak sulung saya sempat ikut-ikutan gondrong seperti saya di masa muda. Anehnya, saat melihat dia gondrong, saya kok, jadi jijik, ya, ha ha ha.

Bila ada yang bertanya kenapa saya suka musik rock, ini jawabannya. Musik rock atau musik metal itu memberi semangat. Yang namanya pemimpin, ya, harus seperti itu. Harus berani mendobrak, memberi semangat kepada rakyatnya. Jangan sampai pemimpin lagunya mellow . Bukan berarti saya tidak suka musik klenengan dan keroncong, lho. Saya juga suka. Nyatanya saya sekarang terpilih jadi Pembina Hamkri (Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia) Solo. Tapi koleksi musik saya yang terbanyak, ya, musik rock. Nah, lalu bagaimana gaya pacaran saya dengan ibunya anak-anak? Wah, ya, tidak bisa pacaran ke mana-mana. Paling banter makan bakso yang murah-murah saja. Hidup kami dulu, kan, serba sederhana.


Diplomasi Makan Siang

 Diplomasi Makan Siang Di awal masa jabatan saya yang pertama, masyarakat Solo belum percaya kepada saya. Maklum, sosok saya baru saja mereka kenal. Karena itu saya seringkali saya mengumpulkan masyarakat untuk berdialog guna mendengarkan aspirasi mereka. Untuk dialog semacam itu, saya lebih suka datang sendiri dan tidak mewakilkan staf. Kalau diwakilkan lalu, misalnya, staf saya bermental ABS (asal bapak senang), kan, repot. Bisa keliru ambil keputusan. Awalnya, dialog selalu berjalan alot. Isinya orang marah-marah dan mencaci. Kalau dimasukkan hati, ya, sakit dan membuat pusing. Jadi saya dengarkan dan catat saja apa kemauan mereka. Saya juga punya cara tersendiri untuk berdialog dan menjalin kepercayaan dengan para pedagang kaki lima (PKL) yang akan saya relokasi ke tempat yang lebih baik dan nguwongake (memanusiakan, Red. ) mereka.

Itu semua demi melaksanakan janji saya dalam melakukan penataan kota. Awalnya, mereka saya undang makan siang di rumah dinas saya. Tidak mudah meyakinkan para PKL tentang program penataan kota. Hari ini diajak makan siang, besoknya malah timbul kecurigaan. Spanduk berisi caci-maki bermunculan di depan rumah. Ada yang bertuliskan “Pertahankan sampai titik darah penghabisan!” dan disertai bambu runcing. Saya tidak ambil hati. Malahan saya ajak mereka makan siang lagi. Saya mengerti kekhawatiran mereka yang di masa lalu sering dibohongi pemimpinnya. Mereka takut setelah digusur, tempat lama akan saya jadikan mal. Diplomasi makan siang itu terus saya lakukan hingga jamuan makan yang ke-54, saya melihat sudah saatnya mengatakan bahwa mereka, ratusan pedagang klithikan di Banjarsari itu, akan saya relokasi ke tempat yang baru. Ternyata tidak ada yang membantah. Kenapa saya memakai ‘diplomasi’ makan siang? Setiap kepala daerah di mana pun, kan, punya anggaran untuk menjamu tamu di APBD-nya. Nah, menurut saya yang namanya tamu kepala daerah itu bukan cuma pejabat tinggi. Pedagang kaki lima atau pedagang pasar juga tamu saya, jadi mereka berhak saya jamu makan siang.

Kini apabila saya hendak memindahkan pedagang kaki lima atau pedagang pasar, cukup 3-4 kali makan siang sambil berdialog, semuanya beres. Saya memang tidak mau ada penggusuran dengan tindak kekerasan atau pemukulan seperti di kota lain. Karena itulah, waktu itu saya justru menempatkan kepala satpol perempuan. Kenapa tidak? Saya ingin menunjukkan bahwa perempuan juga bisa jadi komandannya satpol. Meskipun posisi itu baru saja saya ganti laki-laki, he he he. Terhitung ada 23 lokasi PKL yang saya pindahkan ke tempat yang lebih baik. Jujur, saya tidak bisa memenuhi semua keinginan mereka. Misalnya mereka minta pelebaran jalan 9 meter, saya hanya bisa memberi 6 meter. Yang penting ada komunikasi. Agar PKL tidak kehilangan pembeli di tempat yang baru, saya memakai cara unik. Di hari pindahan, saya siapkan 54 truk khusus. Mereka dikirab dengan baju keraton ke pasar yang baru. Ini sebagai cara promosi agar orang tahu ada pasar baru yang buka. Yang terpenting, saya ingin ngowongake mereka. Mengangkat mereka ke level yang lebih baik dengan status yang lebih legal. Ini, kan, dari informal menjadi formal, tho ?

Kini sudah 17 pasar tradisional yang dibangun kembali. Masyarakat itu hanya perlu diajak berkomunikasi. Menurut saya, pemimpin daerah harus mau nungging . Mendengarkan suara akar rumput, mendengarkan penderitaan masyarakatnya. Keluhan masyarakat itu harus dimengerti agar mereka tahu posisi kita ada di mana. Saya pun sadar betul, membangun kepercayaan memang butuh proses. Ini dilihat antara kata dan perbuatan, jangan cuma ngomong doang. Selama tujuh tahun memimpin Solo, bisa dihitung dengan jari berapa kali saya pidato. Saya diberi posisi sebagai walikota untuk bekerja, bukan pidato.

Walikota Teladan (Berkat gaya kepemimpinannya yang aspiratif, Jokowi menang telak atas rivalnya Eddy Wirabhumi-Supradi Kertamenawi pada Pemilukada 2010. Ia pun kembali menjabat sebagai Walikota Solo periode 2010-2015. Sepanjang perbincangan dengan NOVA, Jokowi memperlihatkan slide suasana Kota Solo sebelum dan sesudah ditata olehnya. Bagaimana dulu pedagang pasar tradisional tumpah hingga ke jalan raya. Di bawah komandonya, titik kota yang dulu kumuh itu berhasil dirapikan dan dibangun pasar yang bersih dan tertata. Pedagang harus berjualan di dalam pasar tanpa dipungut bayaran, kecuali retribusi Rp 2.500 per hari. Jokowi juga memperlihatkan kondisi ruangan pelayanan KTP dan ruang tamu di kantornya yang semula “berantakan”, padahal ia harus mendatangkan investor ke kotanya. Ruang tamu untuk para investor dan pelayanan KTP itu lantas ia “sulap” menjadi serupa lobby sebuah bank, ada layar sentuh yang berisi prosedur dan tata-cara berinvestasi. PNS yang melayani para investor ia beri seragam jas biru, bukan busana PNS warna cokelat kakhi. Pelayanan KTP pun dipermudah dan dipercepat.



Menjadi Wali Kota Teladan 

Selama lima tahun kepemimpinannya Jokowi memenuhi janjinya, bukan saja menata kota tetapi juga memutus mata rantai kemiskinan dengan meluncurkan dana untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Termasuk program perbaikan gizi anak serta menekan angka kematian ibu dan anak pasca persalinan.

Inovasi itulah yang akhirnya membuahkan penghargaan sebagai Walikota Teladan dari Mendagri pada April 2011) Saya sadar, anak-anak adalah aset masa depan bangsa. Karena itu saya memberikan perhatian khusus kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu agar bisa terus sekolah. Menurut saya, satu-satunya yang bisa memutus tali kemiskinan adalah pendidikan. Karena itu saya kemudian menawarkan solusi membuat kartu Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS) dari jenjang SD hingga SMA. Untuk anak yang memperoleh kartu Platinum, ia akan memperoleh seragam, buku, beasiswa dan sepatu gratis. Sementara pemegang kartu Gold bisa membayar sekolah setengahnya saja. Sementara ini memang hanya berlaku untuk sekolah tertentu karena anggarannya belum cukup, masih diotak-atik. Ada juga pemegang kartu Silver untuk siswa dari keluarga mampu yang bersekolah di Kota Solo pada jenjang SD/MI Negeri serta SMP/MTs Negeri dan jenjang SDLB, SMPLB Negeri dan SMALB Swasta.

Saya juga mengeluarkan kartu Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS). Kartu ini bisa dipakai untuk berobat gratis di 12 rumah sakit dan 17 Puskesmas, termasuk untuk terapi kanker seperti kemoterapi dan cuci darah. Jenisnya sama, Silver dan Gold. Silver untuk yang miskin “ragu-ragu” atau tidak jelas kemiskinannya, Gold untuk masyarakat yang sudah jelas miskin. Kartu PKMS sudah sekitar 4 tahun lalu diluncurkan, sementara kartu BPMKS baru dua tahun ini. Dua jenis kartu ini hanya ada di Solo. Biayanya saya ambilkan dari APBD. Asal tahu saja, ya, dulu untuk jaminan kesehatan anggarannya hanya Rp 1,4 M. Setelah ada kartu, saya siapkan Rp 19 M. Dulu untuk beasiswa pendidikan hanya ada dana Rp 3,4 M. Sekarang Rp 23 M. Insya Allah cukup. Saya juga menaruh perhatian khusus pada masalah kesehatan ibu dan anak. Dulu anggaran untuk perbaikan gizi anak hanya Rp 41 juta, sekarang Rp 1,4 M. Naiknya berapa kali lipat, coba? Saya tahu anak itu masa depan kita, jadi harus digarap sejak dini, salah satunya dengan program makanan tambahan di sekolah. Semua sistem ini hanya ribet di awalnya. Setelah ketemu metodenya dan berjalan, mudah saja.

 Itulah sedikit banyak tentang perjalanan hidup joko widodo serta profile dan biodata Jokowi, semoga dapat menambah pengetahuan para pembaca semua khususnya tentang Jokowi.
  

sumber: Tabloid Nova / duniabaca.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar