Jumat, 06 Januari 2012

GLOBALISASI EKONOMI DAN EKONOMI PANCASILA

Oleh: Prof. Dr. Edi Suandi Hamid, MEC -- Guru Besar FE-UII Yogyakarta, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM





Hasil referendum pada awal Juni ini di Prancis, dan kemudian disusul referendum di Belanda, yang menolak konstitusi Uni Eropa, kiranya memberikan suatu pelajaran yang sangat baik bagi kita untuk tidak take it for granted pada praktik globalisasi ekonomi yang terjadi saat ini. Walaupun penolakan rakyat kedua negara tersebut bisa saja bernuansa politis, namun jika dilihat dari perspektif ekonomi, maka sulit diingkari penolakan tersebut terkait dengan kinerja ekonomi negara-negara tersebut yang merasa tidak begitu menggembirakan dengan terintegrasinya ekonomi antarnegara Eropa yang tergabung dalam UE tersebut. Rakyat Perancis, misalnya, kini dihadapkan pada pengangguran yang tinggi. Negara yang sosialismenya masih cukup kental ini juga diharuskan memangkas berbagai subsidi pada produk pertanian mereka, yang bukan saja berdampak pada kesempatan kerja, melainkan juga pada ekspornya. Jika diruntut ke belakang, pada waktu Putaran Uruguay berlangsung (1986-1994) -- suatu perundingan terlama dalan sejarah GATT –, Perancis termasuk negara yang sangat menghambat penyelesaian perundingan tersebut. Negara ini sebenarnya belum rela untuk menghilangkan berbagai perlindungan pada petani mereka. Namun karena desakan dari anggota Masyarakat Ekonomi Eropa waktu itu, yang kemudian melunakkan pendirian Perancis, sehingga perundingan bisa diselesaikan dengan melahirkan WTO dan juga GATS.

[1] Makalah untuk Seminar Bulanan ke-29 PUSTEP-UGM, 7 Juni 2005. Sebagian besar pokok pikiran sudah disampaikan dalam Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar, 7 Mei 2005. Terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada Almarhum Prof. Dr. Mubyarto yang sudah melakukan koreksi beberapa kali atas draft tulisan ini, ketika dipersiapkan sebagai bahan untuk Pidato Pengukuhan tersebut.

Apa relevansinya mengaitkan penolakan dari 2 dari anggota Uni Eropa yang sudah melaksanakan referendum (yang mungkin akan bertambah) dengan globalisasi ekonomi? Integrasi dalam Uni Eropa memang bukan hanya soal ekonomi, melainkan jauh lebih luas dari itu. Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa secara historis yang akhirnya mengintegrasikan negara-negara Eropa tersebut berawal dari kepentingan ekonomi, dan bidang itu pula yang paling dominan dalam UE tersebut. Kerja sama yang diawali melalui sektor-sektor ekonomi tertentu, berevolusi ke tingkat yang lebih inggi, seperti free trade, customs union, monetary union, hingga economic union, dan kini menjadi Uni Eropa tersebut. Kerja sama ekonomi yang tinggi itu menjadi simbol keberhasilan atau kisah sukses dari suatu integrasi ekonomi di suatu kawasan tertentu. Uni Eropa sering dianggap sebagai contoh sukses globalisasi ekonomi dalam kawasan terbatas, yakni Eropa. Namun kini “globalisasi” di Eropa ini terganjal oleh penolakan rakyat di beberapa negara anggotanya.

Penolakan rakyat Prancis ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Praktik globalisasi ekonomi yang membawa misi kapitalisme global selama ini memang dipaksakan oleh negara-negara tertentu, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga ekonomi-keuangan global, banyak ditolak oleh masyarakat dunia. Walaupun secara formal dan informal banyak pemimpin negara-negara dunia menerima globalisasi, namun rakyat yang menjadi korban, temasuk di negara maju sendiri, cenderung menolaknya. Kasus konsititusi Uni Eropa memberikan contoh jelas, bagaimana semua pemimpin negara anggota UE sudah menyetujuinya, namun ternyata suara rakyat sebagian negara UE melalui pemungutan suara langsung menolaknya.

Dilukiskan dalam The International Forum on Globalization (2002: 2).

... Over the past decade, millions people have taken to the streets in India, the Philippines, Indonesia, Brazil, Bolivia, the United States, Canada, Mexico, Argentina, Venezuela, France, Germany, Italy, the Czech Republic, Spain, Sweden, the United Kingdom, New Zealand, Australia, Kenya, Sotuth Africa, Thaland, Malaysia, and elsewhere, in massive demonstrations against the institutions and policies of corporate globalization...

Di Amerika Serikat, negara yang banyak mendapatkan manfaat dari globalisasi ekonomi, juga muncul ketidakpuasan di dalam negerinya sebagai dampak dari privatisasi dan globalisasi tersebut. Sebagaimana ditunjukkan oleh studi dari Wypijewski (1997:17-25) yang menyimpulkan:

Privatization, globalization, a corporate system that rewards the average CEO at a rate 173 times the wage of the average employee (in real terms, executive pay is up about 300 percent since 1980, workers’ wage down 12 percent); the explosion in temporary work, part time work, low-wage work; the ascendance of workfare, of prison labor; the assaults on immigrants and poor people, of unions, currently losing 150,000 souls each year”

Adanya aksi dan ketidakpuasan yang demikian mengandung pesan kepada kita, Bangsa Indonesia, untuk tidak latah dan gegabah menerima begitu saja proses globalisasi ekonomi untuk (dipaksakan) terus berlangsung. Petisi, aksi, dan data yang disampaikan oleh warga dari negara maju tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa mereka pun banyak dirugikan dengan praktik globalisasi ekonomi sehingga mereka menentang kecenderungan keras dari jalannya globalisasi ini. Dengan demikian, globalisasi lebih menguntungkan para industrialis dan para elit ekonomi di negara maju dan segelintir negara berkembang. Atau, dalam terminologi Richard Falk (1997), globalisasi yang terjadi saat ini merupakan globalisasi yang “dituntun dari atas” (globalization-from-above), yang merupakan kolaborasi antara negara maju dengan para agen utamanya untuk penumpukan kapital.

Dapat dibayangkan bagaimana kondisi masyarakat negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia menghadapi proses dan kecenderungan globalisasi ekonomi tersebut. Sebagian masyarakat di negara maju yang relatif “established” pun merasa menjadi korban globalisasi ekonomi. Dapat diduga bahwa sebagian besar masyarakat negara berkembang, yang masih hidup dalam kemiskinan, akan menderita lebih parah. Hal inilah yang dilihat oleh banyak organisasi swadaya masyarakat dunia yang kemudian bergabung dalam komunitas World Social Forum (FSD). Melalui lembaga ini digemakan suara dari global silent majority yang menjadi korban praktik globalisasi ekonomi. Walaupun masih sering terjadi kontradiksi tentang sikap tegas lembaga ini apakah benar-benar tidak setuju terhadap konsep globalisasi ekonomi,[3] namun yang jelas berbagai elemen komunitas dunia ini menuntut koreksi jalannya globalisasi ekonomi yang saat ini “dikendalikan” trio lembaga global: WTO, IMF, dan Bank Dunia.

[3] Menurut Herry-Priyono, dari sejarah dan evolusinya makin nyata bahwa FSD bukanlah gerakan antiglobalisasi, melainkan gerakan yang tidak menyetujui agenda globalisasi yang dikendalikan World Economic Forum (FED), yakni globalisasi yang diserahkan kepada orang-orang yang berkekuasaan dan bermental banker (Kompas, 20/1/2004: 4-5)



Globalisasi: Praktek dan Teori

Jika dilihat dalam sejarahnya, maka dapat diketahui bahwa globalisasi ekonomi yang sudah berlangsung berabad-abad yang lalu, didasari oleh kepentingan negara-negara yang sudah maju ekonominya untuk mencari kekayaan demi kemakmuran negaranya, tanpa terlalu peduli terhadap negara mitra atau koloninya. Bagi negara-negara maju tersebut yang penting adalah penumpukan kekayaan atau emas dan kesejahteraan mereka. Globalisasi ekonomi pada masa kolonialisme Eropa lima abad lalu bertujuan untuk mendapatkan kekayaan di belahan dunia yang sebelumnya tidak terjangkau. Cristobal Colon, yang kemudian dikenal dengan nama Christopher Columbus, dengan dukungan dana dari Raja dan Ratu Spanyol berlayar mengarungi lautan untuk menuju wilayah Asia yang diberitakan berlimpah dengan kekayaan alam dan emasnya.[4] Upaya mencari wilayah baru untuk memperoleh kekayaan bagi negara yang relatif kaya semacam ini terus berlanjut. Dalam catatan sejarah yang terkait dengan globalisasi lainnya, dapat dikemukakan upaya yang dilakukan jurubicara terkenal Kerajaan Inggris tahun 1890-an, Cecil Rhodes, yang menyatakan perlunya negara mendapatkan tanah yang baru, karena lahan (jajahan) yang baru tersebut bisa menguntungkan negerinya:

[4] Walaupun ia tidak berhasil menemukan daerah impiannya itu, namun pendaratannya di San Salvador yang dikiranya India menandai suatu yang sangat penting dan memulai masa kolonialisme Eropa dan terjadinya integrasi ekonomi antarnegara

.... from which we can easily obtain raw materials and at the same time exploit the cheap slave labor that is available from natives of the colonies. The colonies (will) also provide a dumping ground for the surplus goods produced in our factories” (Khor dalam Elwood, 2001: 13).

Pandangan-pandangan demikian merupakan pandangan kaum Merkantilis pada abad ke-17 dan ke-18, yang menjadikan globalisasi ekonomi untuk memperoleh surplus perdagangan dalam rangka memperkuat negaranya. Alexander Hamilton, tokoh Merkantilis dari Amerika Serikat pada tahun 1791 berkaitan dengan kebijakan proteksi AS di bidang industri menulis,

Not only the wealth but the independence and security of a country apperas to be materially connected to the prosperity of manufactures” (Gilpin, 2002: 92).

Jadi upaya globalisasi era kolonial diarahkan untuk memenuhi kebutuhan negara yang sudah lebih dulu maju dengan mengeksploitasi negara atau daerah yang masih terbelakang.

Globalisasi ekonomi yang sudah berakar sejak berabad-abad tersebut terus berevolusi. Titik yang signifikan terjadi tahun 1947 saat mulai berlakunya dan dilembagakannya Perjanjian Umum tentang Tariff dan Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Komitmen yang mengarah pada globalisasi perdagangan dunia yang dimotori oleh Amerika Serikat tersebut pertama kali hanya diikuti oleh 23 negara. Evolusi globalisasi ekonomi ini kemudian berkembang sangat cepat sejak akhir 1980-an. Melalui perundingan panjang yang dilakukan GATT selama 8 tahun, yang dikenal dengan Putaran Uruguay pada tahun 1995 berhasil memutuskan membentuk World Trade Organization (WTO). Keanggotaan WTO ini terus berkembang dan sampai Februari 2005 mencapai 148 negara, dengan bidang cakupan yang lebih luas, yakni menyangkut liberalisasi lalu lintas barang dan jasa (GATS).

Sejalan dengan teori-teori yang berkaitan dengan integrasi ekonomi, liberalisasi perdagangan menjadi ujung tombak globalisasi ekonomi. Sepanjang yang dapat dilihat saat ini, perkembangan perdagangan dunia memang sangat pesat sejak GATT tersebut. Namun secara absolut, perkembangan menjadi sangat cepat selama dua dasawarsa terakhir ini. Dilaksanakannya keputusan-keputusan dari Putaran Uruguay semakin mempercepat perdagangan dunia tersebut. Globalisasi, yang dalam perdagangan internasional menjadi liberalisasi perdagangan, telah menghapuskan berbagai hambatan perdagangan secara signifikan, baik itu hambatan yang berwujud tarif bea masuk maupun hambatan-hambatan bukan tarif, seperti pelarangan impor, kuota, lisensi impor, dan sebagainya. Dimasukkannya sektor jasa dalam liberalisasi ekonomi dunia itu, sebagai implementasi GATS (General Agreement on Trade and Services) , semakin menyudutkan posisi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang umumnya sangat lemah dalam sektor jasa.

Secara makro-global dapat dikatakan peningkatan perdagangan bebas tersebut merefleksikan peningkatan kesejahteran masyarakat dunia. Namun kesimpulan tersebut dipertanyakan manakala dilihat siapa atau negara-negara mana sebenarnya yang perekonomiannya mengalami peningkatan pesat tersebut. Ekspansi perdagangan terutama terjadi di negara-negara maju. Konsentrasi perdagangan dunia masih berpusat di negara-negara Utara seperti Amerika Utara dan Eropa Barat, sementara untuk negara Asia hanya terkonsentrasi pada Jepang dan Cina.

Globalisasi perdagangan bagi negara sedang berkembang juga telah memerosotkan nilai tukar ekspornya terhadap impor barang-barang manufaktur yang dibutuhkannya. Bahkan, kemerosotan nilai tukar ini cenderung semakin parah dan menyebabkan perpindahan sumber daya riil yang diakibatkan oleh hilangnya potensi pendapatan atas ekspornya sebagai akibat kemerosotan nilai tukar. Berdasarkan kenyataan demikian Stiglitz (2002: ix-x) meminta agar pelaksanaan globalisasi, termasuk berbagai kesepakatan (agreement) mengenai perdagangan dikaji ulang dan dipertimbangkan kembali secara radikal.

Dari sudut pandang teoritik, globalisasi ekonomi menjanjikan manfaat yang sangat menggiurkan yaitu meningkatnya kesejahteraan masyarakat dunia. Dengan penghapusan berbagai rintangan dalam hubungan ekonomi internasional akan mendorong peningkatan efisiensi dan produksi barang dan jasa. Spesialisasi ekonomi terjadi. Perdagangan dan investasi meningkat, teknologi produksi berkembang, yang kesemuanya mengarah pada peningkatan output dunia, yang berarti kesejahteraan dunia secara total juga meningkat (lihat misalnya El-Agraa, 1988: 10). Oleh karena itu, berbagai hambatan perdagangan, baik itu yang berupa tarif yang tinggi maupun yang bukan tarif harus diminimalkan, bahkan dihilangkan. Melalui WTO dan berbagai lembaga-lembaga internasional hal itu selalu menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Kebebasan ekonomi dunia dianggap sebagai the best solution theory untuk meningkatkan output dunia. Dalam terminologi ekonomi, kebebasan ekonomi tersebut akan mewujudkan apa yang disebut sebagai Optimalitas Pareto (Pareto Optimality).

“Provokasi” yang didukung dengan konsep teori itu sangat gencar pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Oleh karena itu, tidak mengherankan pada masa itu arus pemikiran tentang globalisasi ekonomi mewarnai hampir seluruh dunia. Terminologi berkaitan dengan globalisasi ini, seperti negara tanpa batas, liberalisasi ekonomi, perdagangan bebas, atau integrasi ekonomi global menjadi semacam dogma yang diyakini akan membawa dunia pada kemajuan ekonomi, menghapuskan kemiskinan, serta memperkecil kesenjangan antarnegara. Upaya ke arah globalisasi ini sangat didukung negara-negara adikuasa ekonomi, yang memang pola perdagangannya sudah terbiasa dengan liberalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi dalam skala terbatas (atau disebut regionalisasi ekonomi) yang sering dianggap sebagai kisah sukses adalah integrasi ekonomi negara-negara Eropa Barat yang kini tergabung dalam Uni Eropa. Oleh karena itu, banyak negara yang “berlatih” untuk mempersiapkan diri ke arah globalisasi ekonomi melalui intergasi ekonomi regional. Dalam kawasan Asia Pasifik di bentuk APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang dimotori negara-negara seperti Australia, Amerika, dan Kanada. Dalam skala yang lebih kecil juga dibentuk North American Free Trade Area (NAFTA), ASEAN Free Trade Asrea (AFTA), dan sebagainya.

Berbagai perangkat organisasi ekonomi dunia itu diharapkan akan membantu percepatan pewujudan globalisasi untuk mengangkat kemakmuran dunia. Para pendukung globalisasi ekonomi sangat yakin bahwa globalisasi menjanjikan terjadinya peningkatan kemakmuran dunia dan kerja sama internasional. Oleh karena itu mereka menyatakan tidak diperbolehkan adanya rintangan yang dapat menghambat lalu lintas barang, jasa, dan kapital (Gilpin, 2002: 293). Padahal, pemikiran untuk meliberalisasikan perdagangan dunia tersebut mempunyai prasyarat bahwa pelaku-pelaku yang akan mengintegrasikan ekonominya harus mempunyai kekuatan seimbang. Prakondisi inilah yang tidak terpenuhi, kekuatan ekonomi antarnegara masih sangat timpang, sehingga praktik globalisasi ekonomi belum bisa dilakukan. Kalaupun ingin dilaksanakan hal ini terbatas pada negara-negara yang relatif seimbang, yang biasanya terbatas pada kawasan tertentu, yang dalam konsep teori disebut sebagai regional economic integration. Integrasi ekonomi regional seperti pembentukan perserikatan pabean (customs union) dianggap sebagai the theory of the second best karena prakondisi untuk mewujudkan the first best policy tidak bisa terpenuhi (lihal misalnya Chacholiades, 1988: 544-545).

Demikianlah, dengan melihat secara empirik dan teoritik dapat dikemukakan bahwa dari perspektif empirik globalisasi ekonomi menjadi alat bagi negara maju – dan juga korporasi global – untuk mengeksploitasi dan mendapatkan keuntungan ekonomis dari negara-negara yang sedang berkembang. Sedang dari perspektif teoritik globalisasi ekonomi sebetulnya belum bisa diterapkan, karena masih timpangnya kekuatan-kekuatan ekonomi negara-negara di dunia ini. Oleh karena itu, persaingan bebas dalam ekonomi belum bisa dilakukan secara menyeluruh, melainkan harus bertahap sesuai dengan kemampuan dan kesiapan masing-masing negara.



Globalisasi Ekonomi: Grand Design Kapitalisme Global

Dengan melihat secara empirik dan teoritik tersebut, era globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas yang terjadi saat ini adalah suatu grand design dari negara-negara kaya bersama kapitalisme global, yang menggunakan kekuatannya sendiri atau melalui lembaga-lembaga ekonomi-keuangan global yang berada di bawah pengaruhnya. Dengan bahasa yang “keras” Swasono (2005:1) melukiskan globalisasi yang terjadi saat ini sebagai

Faham liberalisme baru untuk menjadi topengnya pasar bebas, yang justru mengabaikan cita-cita globalisme ramah untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan mondial.

Nada yang sama juga dikemukakan Mubyarto (2005: 6) yang secara tegas menolak praktik globalisasi.

.... karena dalam sifatnya yang ada sekarang, yang serakah dan imperialistik, sangat merugikan perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia.



Kekhawatiran nafsu imperialistik yang serakah sebenarnya sudah muncul sejak lama. Bung Karno dalam Pidato Pembelaannya di depan Pengadlan (landraad) Bandung Agustus 1930 menyatakan:

Sebagai yang tadi kami katakan, imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain. Ia tidak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa ‘perluasan negeri daerah dengan kekuasaan senjata’ seperti yang diartikan oleh van Kol, tetapi bisa juga berjalan hanya dengan ‘putar lidah’ atau cara ‘halus-halusan saja’, bisa juga dengan cara penetration pacifique (Soekarno, dalam Mubyarto, 2004: 17)

Kita dapat melihat bagaimana peran besar negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia dalam upaya pembentukan APEC akhir 1980-an dan kemudian menggiringnya kepada liberalisasi ekonomi yang dideklarasikan dalam APEC Economic Leaders Meeting atau dikenal juga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC ke- 2 di Bogor tahun 1994. KTT itu pula yang menjadi turning point bagi sikap Indonesia dalam hubungan ekonomi internasionalnya, karena tanpa segan-segan Indonesia “menerapkan” berbagai kebijakan yang sebelumnya dianggap masih “tabu”, yang terkait dengan liberalisasi perdagangan dan investasi. Secara mengejutkan bagaimana sikap pemerintah Indonesia yang ditunjukkan oleh Presiden Soeharto (waktu itu) mengatakan dengan ucapan yang sangat terkenal, yang substansinya adalah: “suka atau tidak suka, siap atau tidak siap kita harus menerima dan menghadapi perdagangan bebas dunia”, yang menggambarkan bahwa Indonesia sudah membuka diri dan meliberalkan perekonomiannya. Hal itu dilakukan karena terpesona janji-janji globalisasi ekonomi yang akan membawa peningkatan kesejahteraan dunia serta tekanan-tekanan melalui berbagai forum global oleh negara maju dan didukung oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti Bank Dunia, WTO, dan IMF. Ketiga lembaga tersebut, yang oleh Richard Peet disebut sebagai “Tritunggal Brengsek” (Unholy Trinity) sangat berperan dalam mempercepat proses globalisasi ekonomi.

Untuk mengintegrasikan perekonomian global itu, melalui lembaga-lembaga ekonomi-keuangan dunia, dibuatlah aturan yang seragam, norma-norma yang standar, hukum ekonomi yang baku, dan berbagai ketentuan umum yang terkait dengan hubungan ekonomi internasional. Berbagai ketentuan itu umumnya diadopsi dari apa yang sudah berlaku dan menjadi kebiasaan di negara-negara industri yang berbasis ideologi ekonomi liberal-kapitalis. Melalui lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan internasional, disusun berbagai “kesepakatan” global yang tidak selalu cocok dan menguntungkan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Akibatnya, muncul berbagai benturan yang tidak jarang menimbulkan kegagalan dalam forum-forum dan dialog internasional seperti yang terjadi di Cancun, Meksiko, pada bulan September 2003. Hal ini kemudian melahirkan kecurigaan terhadap adanya kepentingan yang bercokol (vested interest) dan pemaksaan kehendak untuk mewujudkan globalisasi ekonomi. Arah globalisasi ekonomi ternyata tidak banyak berubah sejak lima abad lalu sampai sekarang: menjadi alat kepentingan negara-negara adikuasa ekonomi untuk memperoleh manfaat ekonomi yang besar dari menyatunya ekonomi dunia tersebut.

Dengan kepentingan yang demikian, maka tidak mengherankan kalau kebijakan yang diterapkan di negara-negara maju tersebut – demi melindungi kepentingan nasionalnya -- acapkali bertentangan dengan prinsip globalisasi yang dikembangkannya.[5] Misalnya, sikap Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat yang sangat kokoh melindungi para petani dan peternaknya dengan kebijakan subsidi yang sangat besar. Adalah tidak aneh pula negara-negara industri yang selalu menyerukan privatisasi dan pengurangan campur tangan pemerintah dalam perekonomian, ternyata menunjukkan hal yang bertolak belakang. Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB di negara-negara industri justru semakin meningkat dari waktu ke waktu. Mengutip studi Tanzi dan Schuknecht (1995), Rodrik (1997: 50) menunjukkan rata-rata pengeluaran pemerintah di negara industri meningkat dari 20,7% dari PDB pada tahun 1937, menjadi 28,5% tahun 1960, dan meningkat lagi menjadi 42,6% tahun 1980 dan 47,2% tahun 1994. Hal yang sebaliknya terjadi dengan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang porsi anggaran pemerintahnya cenderung semakin menurun terhadap GDP-nya (Baswir, 2005a). Data ini dapat ditafsirkan sebagai proses sistematis untuk merombak struktur perekonomian negara-negara miskin, dalam bentuk pengkerdilan peran negara dan peningkatan peranan pasar sehingga memudahkan pengintegrasian serta pengendalian perekonomian negara-negara miskin tersebut dibawah penguasaan pemodal negara-negara kaya (Baswir, 2005b: 15).

[5] AS bisa menghalalkan segala bentuk proteksi untuk kepentingan nasionalnya. Diskusi in sudah muncul sejak 1950-an. Kajian tentang ini misalnya dapat dibaca dalam tulisan Steven Enke (1957) berjudul “Protection in the Name of Security” dalam Readings in Current Economics (Grossman et al, 1961).



Globalisasi dan Ekonomi Pancasila

Setelah diuraikan tentang berbagai pandangan yang kini mulai mempertanyakan arah globalisasi ekonomi, maka muncul pertanyaan pragmatis tentang bagaimana kita menyikapi globalisasi ekonomi ini. Haruskah kita larut dalam arus yang dikendalikan kapitalisme global dan negara-negara tertentu untuk menentukan ke arah mana perekonomian akan dibawa? Jika tidak, langkah apa yang perlu dilakukan?

Jawabannya sangat jelas, kita tidak seharusnya menerima begitu saja praktik globalisasi ekonomi yang melahirkan hegemoni negara maju atas negara berkembang, dan hegemoni usaha besar atas usaha kecil. Pandangan ini tidak perlu diartikan bahwa penulis menolak gagasan globalisasi ekonomi. Penulis setuju adanya globalisasi ekonomi, sepanjang diartikan sebagai adanya interaksi keterbukaan ekonomi untuk melaksanakan transaksi ekonomi secara adil dan tidak merugikan kepentingan nasional. Yang perlu ditolak adalah globalisasi dalam proses dan wajahnya seperti sekarang, sebagaimana yang diuraikan di muka.

Namun demikian kita juga perlu bersikap realistik. Kita tidak bisa menafikan proses globalisasi tersebut yang sedang berjalan. Adalah mustahil, walaupun kita menolak proses ini, untuk terus membangun dengan mengisolasi diri dari interaksi ekonomi global. Oleh karena itu, proses yang terjadi perlu disikapi secara realistis dengan terus-menerus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional untuk bekerja sama dan bersaing secara jujur dan adil dengan negara lainnya. Ini penting untuk mengamankan neraca pembayaran kita, terutama transaksi berjalan (current account) yang saat ini masih surplus namun berpotensi sangat besar untuk berbalik menjadi defisit (lihat misalnya Soesastro, 2003). Untuk itu, pemerintah dengan mengajak negara-negara lain yang mempunyai sikap sama, harus mempunyai sikap tegas untuk menolak tekanan dan pemaksaan prinsip hubungan ekonomi yang tidak adil dan merugikan kepentingan nasional, yang dilakukan melalui lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan global. Delegasi yang mewakili Indonesia di berbagai forum lembaga ekonomi-keuangan internasional harus berpegang teguh pada pendirian untuk menghasilkan rumusan-rumusan kerja sama ekonomi global yang adil dan tidak merugikan kepentingan nasional. Keharusan membuka pasar secara semena-mena tanpa melihat kemampuan produsen dalam negeri, misalnya, merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima.

Bagi umat Islam, yang merupakan bagian terbesar Bangsa Indonesia sikap seperti ini sejalan dengan firman Allah (Al Hujarat: 13) yang menyuratkan bahwa “... Allah menjadikan umat manusia yang terdiri dari berbagai bangsa dan suku untuk saling mengenal”. Ayat ini menegaskan bahwa Islam menganjurkan kerja sama antarumat manusia, melakukan interaksi dan transaksi, namun tanpa menghilangkan keragaman yang ada, termasuk memaksakan ideologi tunggal dalam kehidupan ekonomi. Perbedaan memang sudah merupakan sunatullah sebagai tercermin dari petikan ayat Al-Qur’an tersebut yang eksplisit menyebutkan eksistensi keberagaman suku dan bangsa. Anjuran kerja sama untuk kebaikan tanpa meninggalkan keragaman ini saya yakini juga ada dalam kita-kitab suci agama lainnya di tanah air ini.

Berdasarkan itu pula, kita perlu terus mencermati kecenderungan globalisasi ekonomi yang terjadi dewasa ini. Dari praktik globalisasi ekonomi selama ini, tidak bisa dihindarkan bahwa terminologi itu sangat seiring dengan “liberalisasi yang dipaksakan”, sebuah bentuk Neoliberalisme. Dalam bentuknya yang demikian, globalisasi menjadi alat bagi negara yang kuat secara ekonomi untuk memaksakan ideologi ekonominya kepada negara-negara lainnya. Dengan proses globalisasi seperti itu, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga ekonomi dunia yang dirancang mendukung kebijakannya, maka keuntungan terus mengalir ke negara-negara maju. Dalam banyak kasus memang bisa saja dijumpai hubungan ekonomi yang menghasilkan situasi sama-sama untung, “gain-gain situation”. Hanya saja keuntungan terbesar tetap saja dinikmati negara-negara industri yang sudah terbiasa dengan praktik persaingan bebas dan pola-pola liberal dalam perekonomiannya sebagai derivasi dari ideologi dan falsafah hidupnya. Globalisasi ekonomi penuh dengan muatan ideologis liberal-kapitalis,[6] dan dalam wajahnya yang sekarang merupakan derivasi dari ideologi tersebut. Globalisasi yang demikianlah yang menurut pandangan penulis perlu ditolak. Menjadi sangat naif jika kita berbicara mengenai globalisasi yang sarat dengan muatan ideologis tersebut melepaskannya dari ideologi bangsa kita, ideologi Pancasila. Oleh karena itu, kita perlu melihat praktik globalisasi ekonomi ini dari sudut pandang ideologi bangsa.

[6] Petinggi militer Indonesia biasanya sangat hati-hati dan cermat membuat pernyataan yang terkait dengan isu-siyu besar, terlebih terkait dengan hubungan internasonal. Ketika menjadi Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu di forum yang diadakan oleh ITB tahun lalu menyatakan praltik “globalisasi yang sedang berjalan merupakan bentuk dari kolonialisme baru”

Sebagai bangsa yang berideologi Pancasila maka seyogyanya pula bagi kita dalam praktik-praktik ekonomi keseharian didasarkan pada norma-norma yang terkandung dalam falsafah bangsa tersebut. Bagaimana menerapkan perilaku ekonomi kita yang berketuhanan, manusiawi, nasionalistik, kerakyatan, dan berkeadilan sosial. Praktik dan arah globalisasi ekonomi yang sedang berlangsung saat ini sangat jauh dari norma-norma ideologi Bangsa Indonesia. Adalah tidak manusiawi jika globalisasi ekonomi harus mengorbankan para petani dalam negeri, tempat sebagian besar angkatan kerja kita ditampung[7]. Atau harus mengakibatkan para buruh kehilangan pekerjaan, harga komoditi strategis ditentukan asing, dan kedaulatan ekonomi bangsa berada di tangan negara lain atau lembaga internasonal. Namun hal demikianlah yang terjadi, praktik globalisasi yang dikendalikan tiga institusi dunia yang membawa misi negara maju dan korporasi global.

[7] Saat ini sekitar 46% angkatan kerja bekerja di sektor pertanian.

Tentu menjadi naif jika kita sebagai bangsa yang sedang berkembang yang jumlah pengangguran terbuka masih sangat banyak dan kemiskinan yang masih tinggi[8], dengan tingkat daya saing (competitiveness) rendah, justru ikut menyokong praktik globalisasi ekonomi yang memberikan kontribusi pada ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi dunia. Oleh karena itu, kita perlu membentengi ekonomi kita dengan suatu sistem ekonomi yang bertumpu pada ideologi bangsa, berdasarkan nilai-nilai yang hidup yang berkembang di bumi pertiwi ini. Sistem yang dimaksud adalah Sistem Ekonomi Pancasila yang sejak lebih dari dua dasawarsa lalu terus disuarakan oleh Prof. Dr. Mubyarto, yang hingga akhir hayatnya terus menggali, mencari, dan menemukan kebijakan-kebijakan alternatif untuk menyejahterakan rakyat, menanggulangi kemiskinan, dan mengatasi ketimpangan ekonomi berdasarkan etika Pancasila, melalui wadah Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) Universitas Gadjah Mada[9].

[8] Tahun 2005 ini diperkirakan kemiskinan masih sekitar 38 juta jiwa, pengangguran terbuka mencapai 10,29 juta orang atau 9,89% dari total angkatan kerja, sedang angka under-employment) mencapai 40 juta

[9] Pernyataan ini merupakan bagian dari misi PUSTEP UGM yang kini dilakukan melalui riset, diskusi, dan publikasi ilmiah.

Tantangan untuk menghadapi praktik globalisasi ekonomi yang serakah ini memang sangat berat bagi Bangsa Indonesia. Ini dilukiskan dengan baik oleh Prof. Mubyarto:

.... Tantangan ini tidak makin bertambah ringan, karena ada kecenderungan berkembangnya semangat individualisme sebagai akibat merebaknya pengaruh faham kapitalisme-liberalisme (atau bahkan neoliberalisme). Dengan munculnya kelompok pengusaha nasonal yang menganut faham kapitalisme global, rupanya muncul semangat ‘keserakahan’ baru yang kepentingannya bertentangan dengan kepentingan ekonomi rakyat” (Mubyarto, ed., 2005:ix).

Kutipan ini dijadikan penutup tulisan dalam seminar ini, dengan harapan keprihatinan Almarhum Prof. Dr. Mubyarto, yang baru saja meninggalkan kita, dapat menjadi perhatian kita semua, dan menjadi amanah bagi teman-teman dan para pendukung PUSTEP untuk menjawab keprihatinan dan tantangan tersebut.

Yogyakarta, 7 Juni 2005.



DAFTAR PUSTAKA



Baswir, Revrisond, 2005a, “Peta Masalah dan Kondisi Perekonomian Indonesia” makalah pada Diskusi Pemberdayaan Ekonomi Umat, PP ‘Aisyiah, Yogyakarta, 2005

Callinicos, Alex, 2003, An Anti-Capitalist Manifesto, Polity Press, Cambridge

Cavanagh, Jon, et.al, 2002, Alternatives to Economic Globalization, Berret-Koehler, San Fransisco

Gilpin, Robert, 2002, The Chalange of Global Capitalism: The World Economy in the 21st Century, Princeton University Press, Princeton and Oxford

Elwood, Wayne, 2001, No-Nonsense Guide to Globalization, NewInternational Publications, Oxford

Hamid, Edy Suandi dan Anto, M.B. Hendrie, 2000, Ekonomi Indonesia Memasuki Milenium III, UII Press, Yogyakarta

Hamid, Edy Suandi (2004b), ” Globalisasi, Persaingan Bebas, dan Ekonomika Etik”, Makalah Seminar In Memoriam Prof. Ace Partadiredja, UII, Yogyakarta

Hartiningsih, Maria, 2005, “Menyilakan Penjajah Masuk Memasuki Pintu Rumah” dalam Kompas 20 April 2005, Gramedia, Jakarta

Herry-Priyono, 2004, “FSD Menyangga Dunia” dalam Kompas, 20 Januari 2004, Gramedia, Jakarta

Khor, Martin, 2003, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan (Globalization and the South: Some Critical Issues), Cindelaras, Yogyakarta

Maso’ed, Mohammad Mohtar, 2002, “Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional: Ananlisis Ekonomi Politik tentang Globalisasi Neo-Liberal”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, UGM, Yogyakarta

Merrett, David, 2005, Global Management Issues, University of Melbourne, Melbourne

Mubyarto, 2002, “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi”, dalam Jurnal Ekonomi Rakyat (www.ekonomirakyat.org), Th 1 No. 7/2002

Mubyarto, 2005, “Lima Puluh Tahun Konferensi Asia Afrika: Penjajahan Kembali Ekonomi Indonesia” Makalah dalam Seminar Internasional Bandung 2005, UGM, Yogyakarta

Mubyarto, ed., 2005, Indonesia Merdeka, PUSTEP UGM Yogyakarta

Petras, James dan Henry Veltmeyer, 2001, Globalization Unmasked: Imperialism in the 21st Century, Fenwood Publishing, Halifax

Pieterse, Jan Nederveen, 2001, “Shaping Globalization” dalam Jan Nederveen Pieterse (ed) Global Futures: Shaping Globaliztion, Zed Books, London

Rodrik, Dani, 1997, Has Globalization Gone Too Far?, Institute for International Economics, Washington DC

Shipman, Alan, 2002, The Globalization Myth, Icon Books LTD, Cambridge

Singer, Peter, 2002, One World, The Ethics of Globalization, Yale University Press, New Haven and London

Soekarno, 2004, Indonesia Menggugat (editor Mubyarto), PUSTEP UGM, Yogyakarta

Soesastro, Hadi, 2003, “Neraca Pembayaran Indonesia: Adakah Bahaya Mengintip”, Makalah Kongres ISEI 2003, ISEI, Malang

Stiglitz, Joseph E., 2002, Globalization and Its Discontents, WW Norton Company, NewYork-London

Swasono, Sri-Edi, 2005, Daulat-Rakyat Rakyat desus Daulat-Pasar, PUSTEP UGM, Yogyakarta

Wolf, Martin, 2004, Why Globaliztion Works, Yale University Press, New Heaven and London

Wypijewski, J, 1997, “A stirring in the land”, The Nation, 15 Agustus 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar